Muhammad Hussaini, Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menurut Fredric Jameson, postmodernisme adalah fenomena yang menolak model hermeneutik tradisional tentang dalam dan luar, serta menolak konsep-konsep seperti kebenaran mutlak dan hierarki nilai. Postmodernisme menekankan keragaman, pluralitas, dan ketidakpastian, serta menentang konsep realitas objektif. Aliran ini juga menyoroti perubahan sosial budaya, politik, dan teknologi dalam masyarakat modern (Jameson, 1991).
Postmodernisme juga merupakan suatu pandangan yang mengkritik budaya kontemporer sebagai budaya yang kehilangan kedalaman nilai historis dan politik, serta mengalami homogenisasi dan fragmentasi. Jameson juga menyatakan bahwa postmodernisme merupakan akibat dari perkembangan kapitalisme yang mencapai tahap akhir atau dikenal dengan istilah late capitalism. Dalam fase ini, kapitalisme telah menembus berbagai aspek kehidupan, termasuk kebudayaan dan menghasilkan suatu logika budaya baru.
Di dalam kajian postmodernisme, Jameson mengeluarkan sebuah konsep yang disebut the waning of affect. The waning of affect ini mengacu pada berkurangnya atau melemahnya intensitas atau ekspresi emosional dalam budaya postmodern. Konsep ini menunjukkan adanya penurunan kedalaman dan keaslian pengalaman emosional, khususnya dalam konteks seni dan figur manusia. Hal ini mencerminkan pergeseran dari cara ekspresi emosional tradisional dan evaluasi ulang peran pengaruh dalam masyarakat kontemporer.
Adapun proses penurunan pengalaman emosional dapat terjadi melalui berbagai macam cara. Salah satu caranya adalah dengan komodifikasi objek dan subjek manusia yang mana keaslian dan kedalaman emosi dikurangi atau diubah menjadi representasi yang lebih dangkal. Ternyata hal tersebut juga bisa terjadi lewat penggantian konsep ekspresi dengan konsep praktik, diskursus, dan permainan teks yang kemudian menggeser fokus dari kedalaman ke permukaan. Di samping itu, perubahan dalam struktur sosial-budaya, politik, dan teknologi juga bisa memengaruhi penurunan kedalaman dan orisinalitas pengalaman emosional.
Selanjutnya, fenomena berkurangnya atau melemahnya intensitas atau ekspresi emosional dalam budaya postmodern penulis kaitkan dengan gencarnya penggunaan teknik sinematik modern dan teknologi CGI dalam proses produksi film. Secara harfiah, film adalah cinematographie yang berasal dari kata cinema yang berarti “gerak” dan tho atau phytos berarti “cahaya”. Kemudian, film juga memiliki makna sebagai dokumen sosial dan budaya yang membantu mengomunikasikan zaman ketika film itu dibuat bahkan sekalipun ia tak pernah dimaksudkan untuk itu (Ibrahim dalam Alfathoni, 2020).
Pesatnya perkembangan teknologi juga berdampak pada peningkatan produksi film dalam penggunaan teknik sinematik dan teknologi CGI. Teknik sinematik dalam memproduksi sebuah film tidak hanya berporos pada aspek estetikanya saja, melainkan merangkum perubahan mendalam dalam cara seseorang meresapi emosi dan pengalaman seni visual. Di samping itu, maraknya penggunaan CGI yang semakin gencar menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana hal tersebut dapat memengaruhi pengalaman emosi penonton.
Penulis mengambil 2 contoh film terlaris sepanjang masa, yaitu Film Avengers: Endgame dan Avatar. Film Avengers: Endgame disutradarai oleh Anthony dan Joe Russo. Film ini berhasil menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa serta mendapatkan banyak penghargaan dan nominasi, termasuk tiga Oscar, empat Golden Globe, dan tujuh BAFTA Awards. Film ini menampilkan sebuah tim yang berisikan beberapa pahlawan super yang mempunyai kekuatan yang overpower dan kepribadian yang berbeda-beda. Mereka bekerja sama menghadapi ancaman yang mengancam dunia. Sebenarnya film ini masuk dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe dan Avengers: Endagame menjadi film terlaris di serial ini.
Film Avatar sendiri disutradarai oleh James Cameron dan rilis pada tahun 2009. Film ini mempersembahkan dunia Pandora yang indah dengan kualitas visual yang begitu memanjakan mata. Film ini berhasil menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa, dengan pendapatan mencapai lebih dari 2,8 miliar dolar AS serta mendapatkan banyak penghargaan seperti tiga Oscar, empat Golden Globe, dan tujuh BAFTA Awards.
Baca juga: Najib Mahfuz dan Najib al-Kailani: Dua Sastrawan Besar Oposisi Pemerintah (albayaanaat.com)
Kedua film ini tentu saja diproduksi dengan menggunakan teknik sinematik modern dan CGI. Teknik sinematik adalah teknik yang terkait dengan visual, audio, dan naratif dalam sebuah film seperti pengambilan gambar, lighting, musik, editing, dan lain-lain. Computer Generated Imagery atau biasa disingkat CGI adalah salah satu teknologi yang digunakan dalam membuat film yang menggunakan komputer untuk menghasilkan gambar atau animasi yang terlihat nyata dan realistis seperti latar belakang, efek khusus, karakter, dan lain-lain. Istilah “efek khusus” dan “efek visual” sering digunakan secara bergantian di media dan bahkan oleh beberapa profesional. Secara historis hal itu masuk akal. Pada masa pra-digital dan sebelum efek visual terutama terkomputerisasi, sebagian besar pekerjaan efek dilakukan di dalam kamera dan di lokasi, menggunakan miniatur, teknik praktis, dan berbagai trik kamera dan optik. Sebenarnya tidak ada garis pemisah yang jelas antara efek khusus dan efek visual. Namun keadaannya berbeda saat ini, dan kedua istilah ini digunakan untuk menggambarkan dua kerajinan tangan yang berbeda dan sangat berbeda. (Dinur: 2017)
Penulis sadar bahwa pada era sekarang banyak sekali yang mengandalkan teknologi tinggi dalam pembuatan filmnya. Menurut penulis, dua film inilah yang pernah penulis tonton dengan visual yang begitu memanjakan mata. Tetapi, ada hal yang sedikit mengusik dengan dipergunakannya teknik sinematik modern dan teknologi CGI dalam pembuatan film, yaitu penurunan intensitas pengalaman dan ekspresi emosional penonton.
Penekanan visual yang begitu signifikan sering kali mengalahkan kedalaman naratif. Visual yang berlebihan yang dihasilkan oleh CGI mungkin memanjakan mata, tetapi malah menimbulkan pertanyaan, apakah benar-benar melibatkan penonton secara emosional?
Baca juga: Teknologi Dunia Perfilman dan Postmodernisme (Bagian Dua) - Albayaanaat.com
Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksah. Terima kasih.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan