Najib Mahfuz dan Najib Kailani merupakan dua sastrawan besar asal Arab. Keduanya sama-sama produktif dalam menciptakan karya sastra, baik dalam bentuk cerita pendek, novel, maupun cerita yang bersambung hingga berjilid-jilid. Mahfuz merupakan sastrawan awal abad 20 yang lahir dan besar di Mesir. Sedangkan al-Kailani juga merupakan sastrawan awal abad 20 yang lahir di Mesir dan melanjutkan karir di Uni Emirat Arab dan Kuwait.
Mahfuz telah menulis banyak karya sastra dalam hidupnya, termasuk novel, cerita pendek, dan naskah drama. Karya-karya tersebut telah dibaca banyak orang dari seluruh penjuru dunia. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang ada di dunia dan telah banyak pementasan drama maupum teater saduran dari karya-karya beliau. Karya Mahfuz yang terkenal antara lain trilogi Mesir; Bainal Qashrain, Qashru-s-Syauq, dan as-Sukkariyah. Mahfuz juga merupakan sastrawan Arab pertama yang meraih penghargaan Nobel sastra. Ia meraih penghargaan tersebut pada tahun 1988 untuk karya sastra dengan realisme psikologis dan aspek sejarah yang mencerminkan perkembangan dalam kebudayaan Mesir dari awal abad ke-20.
Salah satu
karya Mahfuz yang menjadi kontroversi adalah novel berjudul Aulad Haratina yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Children of Gebelawi. Novel ini dianggap menghina Islam sehingga
dilarang oleh pemerintah pada tahun 1959. Dalam novel ini, Mahfuz menggambarkan
kisah sejarah agama dan masyarakat Mesir. Melalui novel ini pula ia
menyampaikan kritik terhadap kekuasaan dan korupsi di kalangan elit Mesir.
Meskipun pemerintah Mesir telah melarang novel ini untuk beredar, novel ini
tetap terkenal di seluruh dunia dan dipandang sebagai karya sastra terbesar
dalam sejarah Mesir modern.
Pandangan
Mahfuz tentang agama dan kritiknya terhadap penguasa juga menjadi kontroversi.
Ia dituduh sebagai seorang ateis karena hal tersebut. Perihal ini membuat
Mahfuz menjadi sasaran kelompok-kelompok Islamis dan konservatif di Mesir.
Mahfuz dianggap menghina Islam dalam salah satu bukunya sehingga diserang
kelompok militan Islam pada tahun 1994 dan menyebabkan cedera serius sehingga
mengalami kesehatan yang buruk sejak saat itu.
Sedangkan
al-Kailani merupakan sastrawan yang produktif pada masanya. Ia memiliki lebih
dari 70 buku baik berupa kritik, puisi, cerita pendek, dan novel. Al-Kailani
juga memiliki beberapa karya ilmiah dalam bidang kedokeran, keagamaan, dan
politik. Najib al-Kailani melakukan dakwah menggunakan karya sastra. Dia
menanamkan nilai toleransi, kebaikan, dan prinsip kemanusiaan dan Islam yang
kuat melalui karya-karyanya. Karya-karyanya selain dinikmati oleh masyarakat
Arab juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia dan menjadi terkenal
di dunia internasional. Al-Kailani dianggap sebagai pelopor novel Islam.
Karya-karyanya mengandung persoalan umat Islam dan dunia Islam seperti al-Islamiyah wal Madzahib al-Adabiyah,
Madkhal ila al-Adab al-Islami, Rihalati ma’a al-Adab al-Islami dan Afaq al-Adab
al-Islami.
Ketika umat
Islam dalam kondisi krisis pasca perang dunia kedua, negara-negara Islam
berupaya untuk merdeka dari penjajahan. Saat itu Inggris menduduki Mesir,
orang-orang Yahudi menduduki Palestina. Saat itulah organisasi-organisasi
berperan. Al-Kailani bergabung dengan kegiatan-kegiatan ceramah dan muktamar
yang diadakan oleh Ikhwanul Muslimin. Aktivitas tersebut membawa al-Kailani
masuk penjara bersama anggota Ikhwanul Muslimin lainnya pada tahun 1955. Ia
divonis 10 tahun. Setelah menjalani hukuman 3,5 tahun, ia dibebaskan. Setelah
keluar dari penjara, al-Kailani menyelesaikan kuliahnya. Namun, pada tahun 1960
ia kembali dipenjara selama 1,5 tahun. Ia berpindah-pindah dari satu penjara ke
penjara lain. Berbagai macam ancaman dan penyiksaan dialaminya di penjara. Pada
tahun 1965, al-Kailani ditangkap kembali bersama dengan semua orang yang
tersangka dari Ikhwanul Muslimin. Ketika al-Kailani meninggalkan penjara, ia
menikahi Karima Mahmud Shahin, putri dari Syekh Mahmud Shahin. Ia hidup bahagia
bersama istrinya dan dikaruniai empat anak, tiga anak laki-laki dan satu
perempuan. Pengalaman pahitnya di penjara merupakan fase kehidupan yang sangat
pahit dan tercermin dalam banyak cerpen, puisi, dan novel-novelnya.
Baca Juga : Meditasi Mindfulness
Baik Mahfuz maupun al-Kailani sama-sama pernah menjadi kontroversi dengan alasan yang berbeda. Novel Mahfuz yang berjudul Aulad Haratina menjadi kontroversi dan dilarang oleh pemerintah, sedangkan keikutsertaan al-Kailani dalam organisasi Ikhwanul Muslimin juga menjadi kontroversi yang menyebabkannya harus merasakan dinding dingin penjara. Di balik kontroversi kedua sastrawan tersebut, karya-karya keduanya merupakan karya besar yang dapat dinikmati hingga sekarang.
Nailul Inayati, Mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksah. Terimakasih.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan