Muwasysyahat sebagai sebuah
gaya puisi Arab memiliki peran penting dalam pendobrakan model syair-syair Arab klasik
rancangan Imam al-Khalil. Aliran ini muncul dengan rumusan baru dan tidak berkiblat
pada rumusan baku ilmu ‘Arudh. Kiranya, aliran inilah yang menjadi jembatan
penyambung perkembangan puisi Arab menjelang puisi bebas (al-hurr).
Puisi Muwasysyahat
adalah puisi yang rumusannya berbeda dengan rumusan syair Arab yang
menggunakan metrum-metrum rumusan Imam al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Sebagai
contoh, buah bait dari syair konvensional (berdasarkan rumusan
ilmu Arudh al-Khalil) hanya memiliki dua syatr;
arudh dan dharb. Sedangkan pada Muwasysyahat, bait adalah satu
rangkaian padu dari Qufl dan Daur.
Ibnu Sana al-Mulk
dinilai oleh para peneliti setelahnya sebagai tokoh utama yang membekukan
kajian muwasysyahat menjadi sebuah disiplin ilmu. Pernyataannya yang
termaktub dalam bukunya, Dar ath-Tharaz[1] menunjukkan bahwa ketiadaan
tokoh yang membuat dasar-dasar ilmu ini secara sistematis, guna mempermudah dan
memberikan istilah basis bagi pelajar bahasa, adalah motif utama
pensistematisan ilmu ini. Ibnu Sana mencetuskan beberapa istilah dalam puisi Muwasysyahat;
mathla’—pembuka qasidah yang terdiri dari minimal dua juz, bait—juz yang
terletak setelah mathla’, qufl—juz
qasidah yang selalu muncul berulang-ulang setelah bait dan memiliki kesamaan wazan,
jumlah, dan qafiyah dengan mathla’, dan kharjah—qufl terakhir
dalam qasidah.
Adapun Muwasysyahat,
umumnya terdiri atas lima al-bait dan
lima al-qufl. Jika Muwasysyahat
tersebut memiliki al-mathla’ maka ini
disebut Tam, dan jika tak memiliki al-mathla’ maka ini disebut Aqra’.
Andalusia menjadi
kota yang kerap kali ikut diperbincangkan setiap diskursus Muwasysyahat
digelar. Ini dikarenakan Andalusia, pada sejarahnya, menjadi tempat pertama
puisi ini berkembang biak dengan pesat dan semarak, sebelum kemudian
negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Fakta bahwa bahasa utama di Andalusia
bukanlah bahasa Arab, memicu polemik di kalangan ahli sejarah dan kesusastraan
Arab klasik, apakah Andalusia merupakan tempat lahir Muwasyahat atau
sekedar tempat Muwasyahat berkembang dan menjamur untuk pertama
kalinya. Perdebatan ini pada puncaknya keluar dari yang sifatnya yang akademis
kepada perjuangan identitas kebudayaan antara para pakar keilmuan dari
masing-masing domisili, Arab dan Barat.
Baca juga: Puisi Alat Perlawanan Palestina - albayaanaat.com
Muwasysyahat
berakar dari tiga huruf; waw, syin, dan ha. Penyairnya disebut dengan wisyah
(وشاØ), pluralnya bisa menjadi wusyuh, awsyihah, dan waya’ih. Menurut Muhammad Saqa’ dalam
pendahuluan al-Mukhtar min al-Muwasysyahat, yang umum digunakan adalah wusyuh. Pertimbangan yang digunakan
adalah kesamaan bentuk plural dari kata kitab,
yaitu kutub. Secara bahasa, kata
ini berarti perhiasan perempuan yang disampirkan ke bahu kiri dari bahu kanan,
atau sebaliknya, dan menjangkau dada (Saqo:33). Dan dalam terminologi ilmu
sastra, kata ini berarti serangkaian syair yang dihiasi oleh qowafi dan unsur-unsur khusus lain, yang
berbeda dari pakem-pakem syair konvensional, berupa mathla’, bait, qufl, dan kharjah.
Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimah-nya menuturkan bahwa orang pertama yang menggubah puisi Muwasysyahat
adalah Muqaddam bin Mu’afa al-Qobri, salah seorang penyair Andalus milik Raja
Marwan pada abad ketiga Hijriah (Saqo:61). Akan tetapi, tidak ada satu syair
pun yang digubahnya sampai kepada generasi sekarang. Pendapat Ibnu Khaldun
inilah yang menjadi dasar penisbatan Muwasysyahat kepada Andalus.
Pada abad 20, seorang
sejarawan Irak, Shofa Khulushi, menampik pendapat tersebut melalui
pernyataannya bahwa Muwasysyahat ini lahir di Timur dan berkembang di
Barat.[2]
Pendapat ini didasarkan pada sebuah syair Muwasysyahat yang
diitemukannya pada Diwan Ibnu Mu’taz. Ibnu
Mu’taz adalah penyair Irak yang hidup di abad ketiga Hijriah, semasa dengan
al-Qobri.
Pendapat Shofa
al-Khulusi cenderung lemah. Puisi muwasysyahat yang ditemukannya di
Diwan Ibnu Mu’taz ternyata oleh mayoritas sejarawan dan ahli ilmu sastra Arab
dinisbatkan kepada Abu Bakar bin Zuhar, seorang pujangga Andalusia yang wafat
pada 595 H. Di antara yang menisbatkan kepada Ibnu Zuhar adalah Raja Ibnu
Sina pada Dar ath-Tharaz, Ali bin Musa
pada al-Maghrab fi Hilyi al-Maghrab, Yaqut al-Hamawi pada Mu’jam al-Udaba’,
Shalahudin ash-Shafdi pada al-Wafi bi al-Wafayat, dan yang paling fonumental
adalah murid Ibnu Zuhar sendiri, Ibnu Dihyah pada al-Mathrob. [3]
Hingga saat
tulisan ini dibuat, polemik ini masih berlanjut karena pijakan sejarah dan data
yang menjadi argumen mereka masing-masing memiliki kelemahan. Kendati pendapat
yang menilai Muwasysyahat lahir di Andalusia cenderung lebih kuat, para
sejarawan Spanyol mencari pembuktian melalui manuskrip-manuskrip berbahasa
latin. Sebab menurut pandang mereka nyawa puisi Muwasysyahat ini sudah
ada bahkan sejak sebelum terjadi asimilasi budaya barat dengan Arab di masa
Umayyah. Di sisi lain, para sejarawan Arab juga mencari sumber sahih pada
periwayatan syair Muwasysyahat oleh Ibnu Mu’taz.
Musthafa Saqo’[4]
menengahi perdebatan yang belum selesai di antara dua kubu ini dengan
menengarai adanya akulturasi dan asimilasi. Pada permulaan abad keempat
hijriah, gejolak politik di wilayah Andalus mulai mendekati kestabilannya. Para
pemuda-pemuda Arab dan Spanyol mulai berdekatan dan saling mempengaruhi
kebudayaannya masing-masing, termasuk percampuran pada wilayah kesenian. Arab
dengan seni susastranya, dan Andalusia dengan seni musiknya, di antaranya
Ziryab al-Andalusi. Ini semualah yang kemudian melatarbelakangi kemunculan puisi
Muwasysyahat. Adapun pelopor utamanya apakah dari bangsa Arab atau Barat
belum dapat sepenuhnya dipastikan.
[1] Al-Mulk, Ibnu Sana. Dar ath-Tharaz fi Amal
al-Muwasysyahat. Damaskus: Tahqiq Jaudat Arabi. Cetakan kedua. 1977.
Halaman 30.
[2] Al-Khulusi, Shofa. Fan at-Taqti’ asy-Syi’ri wa al-Qafiyah. 1974: Beirut. Halaman 302.
[3] Annani, Zakariya, al-Muwasysyahat
al-Andalusiyah. Kuwait: al-Majlis al-Wathani. 1998. Halaman 15
[4] Saqo, Mustafa. al-Mukhtar min al-Muwasysyahat. Kairo: Dar al-Kutub. 1997. Halaman 62.
Misbahul Khoir (@ajwassya), Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan