Al-Bayaanaat.com- “Jika kau tidak bersama dengan seseorang yang kau doakan. Kau akan bersama seseorang yang senantiasa mendoakanmu.”
Keputusan mereka untuk tidak melanjutkan hubungan bertahun-tahun itu bermula ketika si perempuan merasa bahwa doanya selama ini sia-sia. Rabu sore dengan matahari yang hendak pamit dari siang di taman mini kampus menjadi saksinya. Perempuan itu sudah berusia seperempat abad dan mimpinya untuk menjadi penghafal Alquran sudah berada di ujung penantian. Tetapi sore itu, menjadi pertemuan terakhir kali dengan lelaki yang namanya pernah dengan sangat serius tersebut dalam doanya.
Lelaki itu berusia sebaya dengannya. Menggunakan kemeja pendek biru muda kesukaannya dengan celana jeans hitam yang hampir tak pernah berganti melangkah dengan pelan setelah bulat memutuskan berhenti menemuinya, tapi tidak berhenti mencintainya. Janji klise ia sampaikan bahwa jika mereka jodoh waktu akan mengembalikan mereka seutuhnya. Kelak, 10 tahun kemudian, janji itu tak pernah terbukti.
“Sekar?” sebuah panggilan membuyarkan lamunannya.
“Eh, iya. Ada apa?”
Bahkan hingga mereka berada di asrama, pikiran itu masih melekat erat di kepalanya. Ia izin tidak menyetorkan hafalannya hari ini. Pusing katanya. Sebenarnya ia masih mengingat lekat langkah terakhir lelaki itu terlihat di hadapannya. Tahun-tahun penting penantian tak disangka hanya berakhir dengan ditinggalkan tanpa alasan, tidak dengan senyuman. Karena mereka berdua tahu, tidak ada yang baik-baik saja dengan sebuah perpisahan.
Penenang hatinya baru ia dapatkan ketika jam dinding menunjukan tepat pada angka 9, setelah seluruh rangkaian kegiatan asrama selesai dilaksanakan. Sebuah sapaan rindu dari jauh terdengar.
“Halo, Sekar. Adik kabarnya bagaimana?” suaranya begitu teduh.
Ayahnya seperti merasa bahwa bungsu yang paling cantik di antara saudaranya itu tidak sedang baik-baik saja. Satu jam lebih sepuluh menit, telepon itu ditutup dengan tetesan air matanya yang entah keberapa kali.
“Adik yang tenang ya, insyaallah akan diganti dengan seseorang yang jauh lebih baik dari dia. Sekarang adik harus kembali fokus. Mimpimu masih sangat banyak.”
Nasihat itu terngiang di kepalanya dengan jelas hingga hari kemudian berganti. Semangatnya harus kembali dikobarkan. Tahajud malam itu menjadi saksi bahwa itu adalah doa terakhirnya.
“Jika ia baik bagi aku dan agamaku, maka ia akan Engkau kembalikan. Jika tidak, maka perpisahan sore tadi adalah kehendak-Mu.”
Matanya masih sembab ketika mengarungi pagi kala itu. Tepat dengan sebuah imbauan bahwa hari ini ia mendapat jatah untuk belanja ke pasar. Tentu dengan perempuan yang selalu bersama ia ketika berangkat ke kampus.
“Diniatkan jalan-jalan supaya pikiranku tenang,” batinnya.
Sekar memang seperti itu, melihat senyum para pedagang di pasar sudah seperti melihat senyum ibunya. Sapaan khas Jogja menambah syahdunya pasar dengan segala hiruk pikuknya.
Pulang dari pasar, ia mendapat panggilan dari Bu Nyai. Merasa tidak melanggar apapun, tetapi ia masih dengan takut menghadap Bu Nyai yang memanggilnya. Dan benar saja, ia ditanya tentang ketidakhadirannya kemarin ketika jam setoran.
“Kamu kemarin sakit?”
“Kepala saya pusing, ibu.” khas seperti santri lain yang menganggap Bu Nyai sebagai ibu dari mereka selama tinggal di asrama.
“Kamu tidak sakit kan kemarin? Ada yang bisa diceritakan ke ibu?”
Seketika tumpah air matanya. Menceritakan dengan detail bahwa lelaki yang menyatakan perpisahan dengannya sudah diperkenalkan pada orang tuanya. Tetapi ia merasa sia-sia, jika saja tadi pagi tidak diminta belanja mungkin ia masih akan menangis hari ini.
Sebenarnya ia malu dengan Bu Nyai jika hal semacam ini diceritakan pada beliau. Tetapi hati tak pernah kalah bertarung dengan cinta yang sudah memenuhi dada. Ia tetap saja bercerita dan menangis meskipun di hadapannya adalah Bu Nyai. Tidak luput ia sampaikan bahwa sebenarnya ia sudah ditenangkan ayahnya ketika semalam ditelepon.
“Ya sudah. Manusia akan selalu mengalaminya, bertemu dan pergi. Yang pergi tak perlu disesali, yang akan bertemu harus dihadapi. Malam ini kamu setoran? Dobel ya?”
“Siap, ibu.” tegas ia jawab ketika dirasa sudah cukup air matanya jatuh.
Ia berjanji bahwa itu adalah yang terakhir.
***
“Selamat, Sekar. Eh salah, Bu Nyai Sekar.”
Sorakan bahagia datang dari hampir seluruh teman-temannya. Hari ini adalah hari wisuda Sekar. Akhirnya ia resmi menyandang gelar penghafal Alquran. Beban baru saja datang ke pundaknya. Penantian dan perjuangannya selama ini akhirnya berbuah manis. Saatnya mengejar mimpi selanjutnya.
“Selamat. Semoga berkah.”
Sebuah pesan singkat masuk di telepon genggamnya. Sebuah pesan yang setelah satu tahun tak pernah datang, ia pulang. Tak ada yang menyangka, bahkan Sekar sendiri. Saat ini, bahkan wajah lelaki itu sudah tidak mau diingat lagi olehnya. Tak ada yang mengingat seseorang perihal kenangan, ia hanya mengingat luka yang dirasakan. Tak ada jawaban yang diberikan Sekar kecuali terima kasih atas ucapan yang telah diberikan.
“Ada waktu senggang? Aku ingin bertemu.”
Sebuah senyuman terlontar dari wajah cantik Sekar. Senyum yang lebih lebar melebihi kesenangan bahwa ia telah diwisuda. Dengan sangat yakin, jarinya mulai mengetik.
“Terima kasih, tapi sepertinya tidak. Seminggu sebelum aku diwisuda, ada seorang pria datang ke rumah dan menyampaikan lamaran kepadaku. Aku, ayah dan keluarga besar menerima pinangannya. Dua bulan lagi kami akan melangsungkan pernikahan. Engkau kuharap datang. Oiya, aku pernah menjadikanmu satu-satunya nama yang kusebut dalam doa setelah ayah dan ibuku. Tetapi ternyata Tuhan menunjukkan padaku, bahwa aku akan pulang pada seseorang lain yang ternyata lebih tekun mendoakanku. Dan sebagai permintaan sekaligus doa terakhirku, semoga engkau selalu berbahagia.”
Muhammad Farid Abdillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. IG: @faridabd19
Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tertulis, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media keilmuan mahasiswa bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Kirimkan tulisan Anda ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata pribadi dan nomor telepon yang dapat dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik submit valid . Terima kasih.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan