sumber: sastra-indonesia.com |
Sastrawan Arab Modern Mesir, Ali Ahmad Bakatsir memiliki jejak kehidupan di Indonesia. Ia lahir di Surabaya 21 Desember 1910, besar di lingkungan pribumi dan menghabiskan masa kecilnya di Kawasan Ampel. Nama lengkapnya Ali bin Ahmad Bakatsir al-Kindy, ayahnya Ahmad Bakatsir dan ibunya Nur Bobsaid berasal dari Surabaya. Tepat pada usia 10 tahun, ia dibawa ayahnya ke tanah leluhurnya Hadramaut, Yaman, guna menimba ilmu agama di Madrasah an-Nahdhah al-‘Ilmiyyah. Ali memiliki jiwa seni sejak kecil, saat usia 13 tahun ia telah menghasilkan beberapa bait prosa dan menggubahnya.
Ali dikenal sebagai pelopor karya sastra profilik di bidang naskah drama Arab. Secara esensial, hampir seluruh karyanya menggambarkan nilai-nilai keislaman yang erat dengan ekspresi sejarah, tradisi, dan tokoh yang memiliki peran dalam peristiwa-peristiwa besar. Pada usia 10 tahun, Ali Ahmad Bakatsir meninggalkan Indonesia. Meskipun begitu, ia tetap mengenal tanah kelahirannya dan menjalin hubungan dengan mahasiswa Indonesia. Selain mengabdi pada literasi, Ali juga aktif dalam Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Mesir.
Menurut Nabil Executive Director Menara Center for Study and Research On Arab Descents Indonesia, Ali aktif menulis di media tentang Indonesia sebelum ‘Audatu al-Firdaus lahir, sehingga masyarakat mesir tidak asing dengan Indonesia. ‘Audatu al-Firdaus ia tulis sebagai bentuk cintanya kepada Indonesia pada hari kemerdekaannya. Karya ini bergaung di pertengahan 1946, dimainkan oleh Jami’ah Syubban Musilim di gedung teater PPKI Mesir dengan menyelipkan lagu Indonesia Raya yang digubah ke dalam bahasa Arab. Keesokannya, stasiun radio Mesir mengumumkan sebuah negara di Asia sudah merdeka yaitu Indonesia. Berkat perjuangan mahasiswa Indonesia dan tulisan-tulisan Ali, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga : Kejutan Tersembunyi Puisi-Puisi Nizar Qabbani
Uraian cerita, dialog, suasana, dan latar berhasil dimunculkan oleh Ali dari hasil pantauan dan diskusinya dengan mahasiswa Indonesia saat memasuki tahun 40-an. Bukan hanya itu, saat berita kemerdekaan Indonesia ditekan oleh Jepang supaya tidak mengudara ke negara lain, media Mesir berhasil mendapatkan siaran melalui Arab Press Broadcasting (APB) dan radio gelap, Ali telah mengerahkan usahanya dalam mengumpulkan data yang ia temui dalam penyusunan ‘Audatu al-Firdaus. Menariknya strategi yang digunakan Ali untuk mendekatkan karyanya dengan pembaca Mesir yaitu dengan penambahan kata “Ahmad” pada Soekarno menjadi “Ahmad Soekarno”. Dengan kesan pragmatik bahwa pemimpin negara baru itu seorang Muslim.
Drama ‘Audat al-Firdaus, mengisahkan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Diterbitkan pertama kali oleh Maktabah Mesir Press. Dalam cetakan asli berjumlah 155 halaman. Jiwa nasionalisme tokoh pribumi dan tokoh intelektual ditonjolkan Ali sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.
Empat babak dalam drama ini, menampilkan Sulaiman pengikut Syahrir, Majid pengikut Soekarno, Zainah (kekasih Sulaiman, saudari Majid), Aisyah (saudari Sulaiman), Halimah (ibu Sulaiman dan Aisyah), Haji Abdul Karim (ayah Sulaiman dan Aisyah), Otih (pembantu Abdul Karim), Izzuddin (pimpinan perlawanan rahasia Jepang), Sutan Syahrir (tokoh nasional), Soekarno (kepala negara), Van Dick (warga Belanda, tawanan Jepang), Van Martin (warga Belanda, sekutu Jepang), Kitajo dan Sahuti (tentara Jepang, tawanan pribumi). Ali juga menulis kesan pada pengatar dramanya yang bertuliskan “Untuk mendengarkan suara rantai yang terlepas yang membelenggu 75 juta bangsa Indonesia”.
Baca Juga : Film Adaptasi Novel di Sinema Timur Tengah
Ia sukses menggambarkan karakter pribumi dan kaum cendikiawan dalam suasana kemerdekaan tersebut. Latar yang diambil dalam ‘Audatu Al-Firdaus yaitu rumah Haji Abdul Karim dan Markas Gerakan Bawah Tanah di suatu kampung. Ali jelas menunjukkan dua strategi yang berlawanan untuk merebut kemerdekaan yaitu jalan diplomasi yang dipahami Majid pengikut Soekarno dan jalan perang yang diyakini Sulaiman pengikut Syahrir. Toleransi inilah yang ingin digaungkan Ali guna meraih kemerdekaan, tak perlu menghilangkan perbedaan. Perbedaan bukan hambatan, tetapi kekuatan tambahan mewujudkan kemerdekaan.
Dua strategi yang berlawanan dipahami pembaca sebagai bentuk perselisihan berkepanjangan. Namun, alur cerita yang ditampilkan di luar perkiraan. Perbedaan strategi tersebut telah disepakati baik oleh Soekarno maupun Syahrir. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dapat diwujudkan Ali dalam penggalan kisah perdebatan panjang antara Majid dan Sulaiman tentang jalan terbaik yang harus diambil. Dilanjutkan dengan penyerbuan oleh pasukan Syahrir, berakhir pada keputusan Soekarno untuk menarik mundur anak buah Syahrir. Meski Sulaiman sempat menolak hal tersebut, tetapi Syahrir dapat memahamkan Sulaiman, bahwa perjuangan belum berhenti saat mencapai kemerdekaan, harus ada penerus untuk mengisi kemerdekaan.
Jiwa nasionalisme, toleransi, dan perjuangan dalam ‘Audatu Al-Firdaus merupakan bentuk apresiasi dan harapan bagi Ali bahwa semua negara dapat merdeka dengan usaha-usaha tersebut. Kisah tersebut menolak keras pernyataan kemerdekaan Indonesia adalah pemberian penjajah melainkan didapat dengan tetesan air mata, keringat, dan darah pahlawan.
Ali telah mempersembahkan hampir lima puluh karya sastra dan lebih dari tiga puluh karya sastra drama telah ditulis. Kiprahnya yang besar mengesankan masyarakat Arab. Ali secara kuat berusaha menonjolkan nuansa keislaman sebagai ekspresi dari keyakinan dan lingkup sosial budaya yang dimilikinya. Beberapa di antara karyanya adalah al-Malhamah al-Islamiyyah al-Kubra’, Fi Bilad al-Ahqaf, Wa Islamahu, dan Siratu Syuja’ yang tidak lepas dari tema sejarah, legenda, dan folklor. Bahkan beberapa karyanya telah difilmkan, salah satunya Salamah al-Qis.
Baca Juga : Fenomena Berbahasa oleh Keturunan Arab di Indonesia
Ali adalah orang yang pertama kali menulis drama berbahasa Arab dalam bentuk puisi secara fasih. Kiprahnya yang sangat berpengaruh di Mesir hingga mendapat kewarganegaraan yang dinaturalisasikan oleh Raja Fuad dan dipatenkan sebagai sastrawan besar Mesir. Ali juga mendapat anugerah Medali Kehormatan Republik Indonesia atas jasa-jasanya yang ikut andil memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia melalui bidang seni karya sastra yang disematkan langsung oleh Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno di Mesir.
Pada 10 November 1969, Ali wafat. Duta Besar Indonesia untuk Mesir saat itu, Letjen TNI (purn.) A. J. Mokoginta turut mengantarkan ke peristirahatan terakhir. Kehadiran tersebut untuk mengenang jasa Ali sebagai sastrawan nasionalis pejuang kemerdekaan Indonesia. Ali Hasan Al Bahar, Lc., M.A., dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatulah Jakarta pun sepakat, berkat potensi Ali dalam mengusung tema kemerdekaan Indonesia dalam drama ‘Audatu al-Firdaus yang dipandang sebagai kerangka respon di balik proses pengakuan Mesir dan Liga Arab terhadap kedaulatan Indonesia.
Istiqamatud Diniyya Muttaqin. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2 Komentar
Mantap Min, semoga lebih istiqomah lagi
BalasHapusLagi lagi dia mengusik rebahanku
BalasHapusSilahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan