Karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
Demikian lantunan bait-bait beliau dalam “Melodia” miliknya. Umbu Randu Palanggi, pria yang pernah dijuluki “Presiden Malioboro” oleh para intelektual dan aktivis budaya ini lahir di Wakikabukak, Kepulauan Sumba, pada 10 Agustus 1943. Beliau adalah pelopor terbentuknya Persada Studi Klub (PSK) pada 1969, sebuah komunitas seni dan sastra yang pernah berjaya pada masanya. Beliau merintis komunitas ini bersama rekan-rekan diantaranya, Imam Budhi Santoso (1948-2020), Ragil Suwarna Pragolapati (1948-1990), dan Teguh Ranusastra Asmara (1947-2016). Sebagian besar anggota yang tergabung dalam komunitas ini berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar yang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta, khususnya mereka yang menaruh minat maupun sedang belajar di jurusan sastra.
Seperti dilansir dalam https://ejournal.undiksha.ac.id, tulisan-tulisan Umbu beserta para rekan klubnya pernah menjadi pemegang rubrik puisi di salah satu media mingguan Pelopor Yogya. Misi Umbu membentuk komunitas ini mengesankan. Beliau ingin mengurangi populasi pemuda badung dan gelandangan yang ada di lingkungan Malioboro saat itu dengan cara menyeleksi berdasarkan minat dan bakat yang dimiliki dalam bidang seni dan budaya, khususnya sastra. Meskipun sebagian besar anggota PSK adalah anak-anak muda, tetapi keanggotaan PSK terbuka untuk siapa saja dan segala usia.
Bersama dengan para anggota PSK inilah, Umbu menyebarkan ilmunya ke masjid, pasar, panti dan tempat lain untuk memperkenalkan sastra kepada masyarakat. Metode yang digunakan Umbu dalam pendidikan di komunitasnya sangat khas. Tidak formal layaknya kurikulum yang diterapkan di sekolah. Beliau memberi nama tempat belajar ini dengan “Universitas Kehidupan”, yang terletak di Jalan Malioboro 175-A.
Pada 1969-1977 di Yogyakarta, terbentuklah berbagai kubu seniman dan sastrawan berdasarkan ideologi masing-masing yang bertepatan dengan peralihan antara masa pemerintahan orde lama menuju orde baru, serta pasca terjadinya tragedi berdarah G30S/PKI. Pada masa itu, PSK hadir sebagai wadah dari berbagai ideologi aktivis sastra dan seni. PSK ini digadang-gadang sebagai awal kiprah Emha Ainun Nadjib dalam kesusastraannya hingga namanya melambung tinggi seperti sekarang ini.
Umbu pergi meninggalkan Yogyakarta dan PSK rintisannya pada 1975, sehingga mengakibatkan berbagai kegiatan di komunitas ini perlahan surut. Beliau memilih untuk menetap di Bali hingga hembusan nafas terakhirnya pada 6 April 2021.
Qayyumul Fajar. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga
2 Komentar
Sungguh menginspirasi
BalasHapusInfo menarik.
BalasHapusSilahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan