Salah satu karya masterpiece yang ditulis oleh Sayyid Quthb adalah kitab tafsir fī Zhilāli al-Qur’ān (1965). Namun karena komitmen metodologisnya saat menulis, tafsir tersebut tidak serta merta dapat dipahami oleh pembaca awam bahkan menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Sayyid Quthb kemudian menulis kitab tafsir al-Tashwīr al-Fanni fī al-Qur’ān (gambaran artistik dalam al-Qur’an) yang dijadikan sebagai buku komplementer dan rujukan dalam memahami kitab tafsir fī Zhilāli al-Qur’ān.
Jika dahulu tafsir-tafsir al-Qur’an terbatas pada pembahasan ilmu balaghah dan i’jaz yang hanya membahas teks secara terpisah, maka kitab al-Tashwīr al-Fanni fī al-Qur’ān ini berusaha melampaui tafsir al-Qur’an terdahulu, yakni dengan menggunakan metode tashwīr (gambaran) yang membentuk berbagai makna, tujuan, serta tema al-Qur’an melalui gambaran-gambaran artistik. Dengan gambaran inilah, ungkapan-ungkapan di dalam al-Qur’an memiliki bobot tersendiri.
Metode al-Tashwīr al-Fanni (gambaran artistik) yang digunakan dalam kitab ini menunjukkan orisinalitas pemikiran penulisnya. Di dalamnya, Sayyid Quthb mengintegrasikan seni dengan tafsir sehingga mampu menggugah reaksi perasaan, merangsang imajinasi, menampilkan gambaran, kejadian, dan adegan yang dapat dilihat serta memudahkan pembaca memahami tafsir yang dijelaskan.
Baca Juga : Nawal El Saadawi, Sebuah Refleksi Pemikiran Masa Depan
Salah satu pesona dari buku ini adalah keserasian artistiknya (keserasian antara ungkapan, lafadz, dan irama). Misalnya, penjelasan terkait fenomena gambaran al-Qur’an yang disebut tajsim (perumpaan) dan bagaimana tajsim mampu memanifestasi hal-hal yang abstrak kepada hal-hal yang empirik. Contoh lain yakni penjelasan tasykhish (personifikasi) yang merupakan bagian dari takhyil (imajinasi) sehingga mampu memberikan berbagai reaksi perasaan. Dalam hal ini, benda-benda mati digambarkan seakan hidup. Benda-benda tersebut terlihat nyata memiliki perasaan, seperti menerima dan memberi yang mampu melembutkan perasaan pembaca.
Penjelasan lain seperti tipe-tipe manusia juga memberikan perspektif baru yang segar dan berbeda. Kitab ini menjelaskan bagaimana al-Qur’an menggambarkan 30 tipe manusia dengan konkret, mudah, dan ringkas. Melalui metode al-Tashwīr al-Fanni, tipe-tipe manusia yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an digambarkan dan disajikan menjadi tipe-tipe yang mengandung unsur keabadian yang kekal, melampaui ruang dan waktu, serta melampaui abad dan generasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tipe manusia terdahulu seperti dalam kisah-kisah di al-Qur’an, tetapi juga mencakup manusia saat ini bahkan manusia di masa depan.
Baca Juga : Perjuangan Hidup Dalam Novel "Rahasia Salinem"
Terlepas dari kelebihan dan kebaruan yang ada dalamnya, kitab al-Tashwīr al-Fanni fī al-Qur’ān ini masih menjadi perdebatan di beberapa kalangan karena keterkaitannya dengan tafsir fī Zhilāli al-Qur’ān. Di mana tafsir tersebut tergolong tafsir kontemporer yang cukup kontroversi karena menyandarkan penjelasan pada ra’yi (nalar) bukan atas dasar naql maupun atsar. Beberapa ulama berpendapat bahwa seseorang dengan ilmu dan pemahaman yang belum memadai hendaknya tidak merujuk langsung pada kitab ini karena dikhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam memahami teks al-Qur’an yang sakral. Selain itu, reaksi pembaca terhadap redaksi yang dibaca tentu akan berbeda.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan