Albayaanaat.com – Seiring berjalanya waktu, banyak negara berkembang dan tumbang. Batas-batas peta melebar dan mengecil, tetapi peran puisi sebagai aset sosial yang penting bagi penghuni tanah Arab tetap bertahan.
Nizar Qabbani adalah penyair Arab modern yang mendapat julukan “Raja Penyair Arab”. Karyanya dianggap begitu penting mewakili perasaan dan problematika perempuan Timur Tengah. Pemakamannya diiringi laki-laki dan perempuan di Damaskus, kota kelahirannya.
Sebagaimana dilansir dari Tirto.Id tentang Puisi-Puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan, Nizar menggunakan cara yang tidak lazim dalam memperjuangkan feminisme lewat puisinya. Ketika sastrawan feminis lain menguak kompetensi perempuan, pengorbanan atau kisah inspiratif lainnya melalui novel, puisi, cerpen. Lain halnya dengan Nizar yang dengan puisi cinta berbahasa vulgarnya dapat memberikan nuansa lain dalam tulisannya. Itulah yang membuatnya berbeda dengan sastrawan lain.
Baca juga : Dilema Mahasiswa Semester Tua
Para aktivis feminisme sepakat bahwa Nizar adalah tokoh feminisme. Namun, banyak kritikan yang muncul salah satunya dari kritikus Syeikh Ali Musthafa al-Tantowi. Beliau menyerang Nizar sekaligus puisi-puisinya, pilihan tema, dan gaya penulisan yang berbeda dari penyair-penyair sebelumnya karena Nizar menggunakan bahasa ‘ammiyah (lokal).
Salah satu kritikan keras Syeikh Ali Musthafa al-Tantowi terhadap Nizar termuat dalam majalah Al-Risalah edisi 661 (1964). “Di Damaskus terdapat satu buku kecil yang baru terbit. Sampulnya elok, halus, dan buku itu berhias pita sebagaimana pinggang-pinggang gadis penari dan penyanyi semasa jajahan Prancis. Di dalamnya termuat kata-kata semacam puisi yang mengandung gambaran-gambaran tolol, busuk, dan mengesankan kekafiran. Sebuah buku sonder imajinasi karena penulisnya berotak tumpul dan tak berpendidikan,” tulis Tantowi.
Bukan tanpa alasan tulisan Nizar mengejutkan dunia Timur Tengah dengan menunjukkan seni puisi tak sebatas bahasa Arab fusha. Penggunaan diksi yang ekstrem bertujuan menimbulkan efek kejutan bagi masyarakat Timur Tengah terhadap realitas yang menyudutkan kaum perempuan. Adat yang menyebabkan kesengsaraan sudah tak relevan lagi digunakan. Dengan efek kejutan dalam bahasa vulgar inilah masyarakat dan pembaca mulai menyadari kekeliruan mereka dan berupaya mengembalikan hak-hak privasi perempuan. Anak-anak muda menyambut gembira tulisan Nizar. Bagi mereka puisi-puisi itu menggemakan protes atas penderitaan yang mereka alami. Di satu sisi agar perempuan berani menunjukkann dirinya dan menyuarakan hak-haknya yang terbelenggu oleh adat.
Baca juga : Kemenangan yang Kalah
Nabi Ibrahim juga menggunakan kejutan untuk menyadarkan masyarakat bahwa berhala yang mereka sembah tidak dapat melakukan apa-apa. Nabi Ibrahim menghancurkan semua berhala dan menyisakan satu yang paling besar dan dikalungkannya kapak itu dileher patung. Segala protes merujuk ke Ibrahim. Nabi Ibrahim berkata bahwa yang melakukannya adalah patung itu. Ketidakadilan berpikir inilah yang diimplementasikan Nizar untuk menyadarkan masyarakatnya lewat aksi kejutan.
Terdapat banyak karya Nizar tetapi baru beberapa karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Adapun di antaranya yaitu “Puisi Arab Modern”, “Surat dari Bawah Air”, “Yerussalem”, “Ketika Aku Mencintaimu”, dan “Aku Bersaksi Tiada Perempuan Selain Engkau”.
Patriarki dan ketidakadilan gender selalu berkaitan. Seperti konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun ikut). Sesuai juga dengan istilah konco wingking yang berarti teman di belakang. Mayoritas kebudayaan Timur Tengah mendiskreditkan kaum perempuan. Mereka menganut hegemoni patriarki, yaitu kekuasaan di dalam sebuah keluarga ada di tangan seorang suami. Patriarki merupakan konsep di mana laki-laki memegang kekuasaan atas semua peranan penting dalam masyarakat.
Puisi-puisi Nizar dipercaya paling efektif untuk bereksperesi, terutama bagi pemerintahan yang anti kritiik. Sindiran ini tidak lain untuk menghapus adat dan membuka pikiran masyarakat Arab terhadap aturan adat yang merugikan perempuan.
Puisi berjudul “Asbaha Indi al-Ana Bunduqiyah” (Telah Ada di sisiku Sepucuk Senapan) karya Nizar Qabbani pada tahun 1968 pernah dinyanyikan diva legendaris Timur Tengah yaitu Ummi Kultsum. Puisi itu diubah menjadi lagu oleh Muhammad Abdul Wahab yang juga komposer dan penyanyi. Ketika mendengar puisi yang dinyanyikan, nuansa getir begitu terasa di awal. Namun, di akhir lagu tersebut justru mengobarkan semangat bangsanya untuk terus melawan. Lagu mampu membangkitkan semangat apalagi dipadukan dengan kata yang penuh makna.
Baca juga : "Beirut: The City of Coexistency" Menjadi Topik Diskusi Seri Ketujuh Arabic Corner
Salah satu Puisi Nizar yang berjudul “Min Badawiyyin Ma’a Atyabi at-Tamaniyati” berisi tentang ketimpangan keadaan antara penguasa dan masyarakat Arab. Para penguasa hanya mementingkan kebutuhan pribadi dari pada masyarakat hingga berdampak pada kesedihan dan kesengsaraan masyarakat Arab. Para pejabat negara sampai berdiskusi apakah Nizar dapat dipenjara karena tulisannya. Hal ini dijelaskan Nizar pada pengantar bukunya. Dalam buku tersebut menyatakan bahwa ia tidak memiliki kepentingan politik. Nizar ingin menyadarkan masyarakat dan seniman bahwa puisi adalah media untuk membuka tabir yang tertutup dalam suatu fenomena, bukan memberikan solusi supaya Timur tengah menjadi lebih baik lagi.
Demikianlah perjuangan Nizar dalam menyadarkan masyarakat Timur Tengah akan adat yang menindas kaum perempuan. Mengkritik pemerintah yang anti kritik dan menumbuhkan nuansa baru dalam khazanah sastra Arab modern.
Rahmat Hidayat. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga
2 Komentar
Semangat kk Admin
BalasHapusterima kasih, semangat juga kak!
HapusSilahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan