Malam itu, Bahrum tidak bisa tidur. Bayangan sosok Salamah
dan juga Ilham terus saja bergantian muncul dalam benaknya. Lelaki itu kemudian
loncat dari tempat tidur dan mengambil keris dari dalam lemari. Sekali tusuk,
Ilham pasti mampus, pikirnya penuh amarah. Keris itu adalah keris warangan
yang beracun dan sudah tersimpan sejak puluhan tahun yang lalu. Dipandanginya
keris tersebut sembari membayangkan apa yang hendak dilakukannya besok.
Kemudian, pikirannya kembali terusik oleh kenangan yang teramat menyakitkan
beberapa tahun silam.
Dulu, Bahrum memiliki dua orang sahabat dekat, Maruto dan
Ilham. Mereka adalah tiga serangkai pemuda desa yang rukun. Akan tetapi,
kerukunan tersebut tidak bertahan lama lantaran sosok Salamah, seorang kembang
desa, hadir di antara mereka bertiga. Mereka sama-sama mencintai kembang desa itu dan berlomba-lomba untuk mendapatkan hatinya. Salamah, sebagai
satu-satunya perempuan yang diperebutkan, akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Bahrum.
Keduanya lalu menikah. Namun, sebuah tragedi memilukan
justru menghampiri kehidupan rumah tangga baru mereka. Bahrum sama sekali tidak
bisa melupakan kejadian tersebut. Hatinya begitu luka. Terlebih, peristiwa
tragis itu disaksikan oleh kedua mata kepalanya sendiri. Hingga akhirnya, ia
memutuskan untuk tidak menikah lagi lantaran rasa cintanya kepada Salamah yang
begitu besar.
Dendam itu kembali memuncak setelah kedatangan Maruto.
"Aku baru merasa lega jika Ilham sudah kubunuh
dengan kerisku ini" ujarnya kepada Maruto siang itu.
Keesokan paginya, Maruto kembali datang ke rumah
Bahrum.
"Kamu sudah siap, Bahrum?" tanya Maruto. Bahrum mengangguk dengan raut wajah penuh amarah. Keris yang diambilnya
dari lemari semalam, kini sudah terbungkus dengan pelepah pisang.
"Kita berhenti di sini, ya” ujar Maruto. Sekali lagi, Bahrum hanya
mengangguk tanpa berucap sepatah kata. Maruto kemudian memberi aba-aba kepada
sopir, lalu bus yang mereka tumpangi berhenti persis di jalan tepi hutan. Kedua laki-laki itu lantas meloncat
turun dari bus.
"Kita harus berjalan kaki ke sana, Bahrum."
Maruto menunjuk ke suatu arah.
"Apa dia tinggal di dalam hutan?"
"Ya. Di balik hutan ini, ada desa kecil. Di desa
itulah jahanam itu tinggal." Kedua lelaki itu kemudian menyusuri jalan
setapak di tengah hutan jati.
Bahrum sudah bertekad bahwa hari itu ia harus
membunuh Ilham, lalu setelah itu ia menyerahkan diri ke polisi.
"Apa kita perlu istirahat sebentar, Bahrum?" tanya Maruto setelah cukup jauh berjalan.
“Tidak. Aku sudah tak sabar lagi. Kamu benar-benar tahu rumahnya kan, Maruto?"
“Hanya ancer-ancernya saja. Selebihnya, nanti kita tanya
penduduk.”
Saat di pertengahan jalan, tiba-tiba Maruto berteriak. Beberapa
kera yang bergelantungan di dahan jati berloncatan. Mungkin merasa terganggu oleh kedatangan dua lelaki
itu.
“Maruto” panggil Bahrum. Maruto menoleh, “kenapa kamu juga menginginkan kematian Ilham?” tanya Bahrum sambil menatap Maruto tajam.
“Bahrum..Bahrum" ditepuknya pundak sahabatnya itu pelan, "kamu tahu sendiri kan jika kita bertiga sama-sama mencintai Salamah? Tapi aku tidak seperti Ilham, aku mengaku kalah. Aku juga benar-benar
marah ketika ia menjahanami istrimu” jelas Maruto mayakinkan.
“Begitukah? Kamu tidak membohongiku, bukan? Misalnya, kamu
punya dendam lain dan ingin menggunakan tanganku untuk membalasnya?” tanya Bahrum sekali lagi.
“Sama sekali tidak, sahabat” jawab Maruto, “oh iya, aku cukup sampai
sini saja, Bahrum. Di situlah Ilham tinggal” tunjuk Maruto ke sebuah desa yang sudah mulai nampak jelas dari pandangan mereka berdua.
“Aku tahu maksudmu, Maruto, terima kasih sudah membantuku sejauh ini. Aku janji, tidak akan menyeretmu ke dalam masalah ini.”
Ketika Bahrum meneruskan langkahnya, Maruto berbalik arah.
Sampai dibelokan kedua, Bahrum mulai ragu-ragu. Rumah itu nampak kecil dan sederhana. Persis di depannya, berdiri sebuah surau yang juga kecil. Bahrum termangu di
halaman.
“Benarkah ini rumah pemerkosa istriku?” Bahrum melongok
ke dalam rumah melalui pintu depan yang dibiarkan terbuka, sepi di dalam.
"Maaf, mencari siapa, Pak?" tanya seorang
lelaki muda.
"Apa benar ini rumah pak Ilham?"
"Benar, Pak. Tapi, biasanya pada jam-jam segini beliau sedang berdzikir di suraunya. Coba tengok di sana saja, Pak" ujar lelaki itu sembari menunjuk ke arah surau.
Bahrum melongok ke dalam surau. Benar, di dalam ada
seorang lelaki yang tengah khusuk berdzikir. Meskipun dari belakang, Bahrum tetap
bisa mengenali bahwa laki-laki itu tak lain adalah Ilham. Lalu, Bahrum menunggu
di serambi surau. Tak lama, terdengar suaru batuk-batuk di belakangnya. Bahrum
menoleh, Ilham sudah berdiri di dekatnya. Lelaki itu mengulurkan tangan, tetapi
Bahrum diam saja.
"Bertahun-tahun aku mencarimu, Ilham."
"Aku tahu itu
dan aku sudah pasrah. Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa lari dari hukuman akibat
dosa yang aku perbuat." Bahrum termangu. Apakah dia sudah bertobat? Lalu, siapa sesungguhnya yang lebih baik, diriku ataukah Ilham? batinnya.
Bahrum memandang Ilham. Wajah lelaki itu begitu bening dan elok dipandang. Namun, tiba-tiba seluruh tubuh Bahrum gemetar, kemudian oleng dan jatuh. Buru-buru lham mengangkat tubuh sahabatnya itu ke dalam rumah. Bahrum sadar setelah diberi minum air putih.
"Maafkan aku, Ilham."
"Tidak, sahabat. Akulah yang berdosa kepadamu."
"Simpanlah ini." Bahrum memberikan bungkusan
pelepah pisang yang dibawanya tadi. Ilham menerima bungkusan tersebut dan membukanya.
"Terus terang saja, hari ini aku berniat untuk membunuhmu,
Ilham." Mendengar itu, Ilham lantas mengembalikan keris itu kepada Bahrum.
"Kalau begitu, laksanakanlah niatmu itu." Bahrum
menggeleng.
"Ilham, bolehkah aku bertanya sesuatu? Kenapa Maruto juga
menginginkan kematianmu?" Ilham hanya tersenyum.
"Semua itu sudah kuduga. Tapi, kalau aku katakan
rahasianya, apakah kamu akan mengampuni Maruto?"
"Aku berjanji."
"Sudah, lupakan saja dia. Anggap tidak pernah ada persoalan
antara kamu dan Maruto."
"Maruto yang memberitahuku jika kamu tinggal
di desa ini."
"Sudah kuduga. Tapi, biarlah!"
Bahrum memutar ingatannya kembali ke masa dua puluh tahun
lalu.
Jadi malam itu juga ada Maruto? Bukan hanya Ilham?. Bahrum jatuh pingsan. Sementara Maruto, setengah
berlari di jalan tengah hutan. Ia berlari kencang seolah dikejar harimau.
Maruto berlari sambil berkali-kali menoleh ke belakang, meski sebenarnya tidak ada seekor
binatangpun di belaknganya. Lalu, Maruto
terkejut setengah mati ketika di depannya yang hanya berjarak lima meter, seekor
harimau kumbang berukuran sangat besar sedang menghadang jalannya. Tubuh Maruto
tiba-tiba tidak bisa digerakkan. Lelaki itu sontak jatuh di atas tanah. Harimau
itu mendekati tubuh Maruto dan mengendus-endus ke seluruh bagian tubuhnya. Kemudian menggigit tengkuk Maruto dan menyeretnya masuk ke tengah hutan jati.
1 Komentar
Keren, cerpen dengan menggunakan bahasa Indonesia baku.
BalasHapusSilahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan