Albayaanaat.com – Androfobia
merupakan gabungan dari kata andro yang berarti laki-laki dan phobia yang
berarti ketakutan. Secara istilah, androfobia
adalah perasaan takut saat melihat laki-laki di sekitarnya. Androfobia
merupakan salah satu jenis dari fobia sosial yaitu perasaan
takut yang irasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain.
Androfobia diawali dengan beberapa gejala, di antaranya; rasa takut
terhadap laki-laki yang irasional, tidak berhasrat untuk memikirkan laki-laki, tidak suka pergi ke tempat umum, sulit
bernapas dan gemetar, panik dan cemas, serta menghindari hal-hal yang
berhubungan dengan laki-laki. Penyebab androfobia adalah masa lalu yang buruk,
misalnya peristiwa traumatis yang dialami seseorang semasa kecil, seperti
melihat ibunya atau perempuan yang dekat dengannya dilecehkan secara fisik,
verbal, atau pernah menjadi korban pelecehan seksual.
Cerpen Ḥālatu Fatāti min Daftari Aḥwāli ‘Iyādatī adalah salah satu karya Nawal el Sa’adawi. Cerpen ini menampilkan tokoh utama yang mengalami gangguan kejiwaan atau perilaku yang abnormal akibat trauma yang pernah dialaminya semasa kecil. Gangguan stres pascatrauma yang dialami tokoh utama membuatnya sulit menerima kenyataan yang terjadi. Ia merasa terus dihantui ingatan masa lalunya ketika melihat sang ibu meninggal karena dipukuli ayahnya. Hal itulah yang membuatnya trauma hingga menimbulkan rasa takut kepada laki-laki atau androfobia. Inilah beberapa gejala yang dialami oleh tokoh utama dalam cerpen Ḥālatu Fatāti min Daftari Aḥwāli ‘Iyādatī
1. Rasa takut terhadap laki-laki yang irasional
Gejala ini disebut irasional karena ketakutan yang dialami oleh
seorang perempuan tidak masuk akal. Seorang perempuan merasa takut kepada semua laki-laki meskipun laki-laki itu
normal dan tidak berbuat apapun kepadanya. Hal ini terjadi karena di dalam
memorinya sudah melekat peristiwa traumatis yang dialaminya pada masa kecil
yang mendoktrin bahwa semua laki-laki kejam dan penyiksa. Gejala tersebut akan
digambarkan pada data berikut
“Bahkan,
selama kuliah bertahun-tahun, belum pernah sekalipun ia berbicara dengan
seorang laki-laki.”
“Ia
tidak pernah mau naik bus agar tak seorang pun dapat menempeli tubuhnya dari
belakang. Ia enggan naik taksi seorang diri bersama sopir yang bukan
keluarganya.” (Nawal, 2017: 22).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa si tokoh utama tidak ingin membangun interaksi sekecil apapun dengan laki-laki selain keluarganya. Pilihan tokoh utama untuk tidak naik kendaraan umum karena takut jika tubuhnya ditempeli oleh seseorang. Seseorang di sini adalah seorang laki-laki. Sebab laki-laki yang bukan keluarganya berpotensi menjadi suaminya dan berpotensi juga menyiksanya di kemudian hari.
2. Tidak berhasrat untuk memikirkan laki-laki
Penderita androfobia tidak akan mempunyai keinginan untuk menjalin
hubungan dengan laki-laki, bahkan ada yang tidak ingin menikah. Sebab,
kebanyakan faktor penyebab androfobia adalah kekerasan, kekecewaan, atau
kejadian menyakitkan lainnya dalam hubungan percintaan atau pernikahan. Seperti
kekerasan yang pernah disaksikan oleh si tokoh utama semasa kecil mengakibatkan
tokoh utama tidak memiliki hasrat untuk menjalin hubungan dengan laki-laki.
Bahkan, si tokoh utama tidak ingin menikah. Hal itu terlihat pada cuplikan
berikut :
“Ia tidak berdoa kepada Allah agar
mengirimkan suami untuknya. Pikiran tentang suami sudah dibuangnya jauh-jauh
dari kepalanya sejak ia masih kecil.” (Nawal, 2018: 22)
“Tidak ada seorang laki-laki pun
yang pernah singgah dalam kehidupannya, laki-laki mana pun.” (Nawal, 2018: 22)
Cuplikan tersebut menggambarkan bahwa tokoh utama tidak memiliki
hasrat kepada laki-laki. Belum pernah ada satu laki-laki pun yang menjalin
hubungan dengannya, bahkan si tokoh utama tidak punya keinginan untuk berumah
tangga sejak kecil. Baginya, menjalin hubungan dengan laki-laki dan kemudian
menikah akan membawanya bernasib sama seperti ibunya, yaitu meninggal dengan
cara dipukuli suaminya, sedangkan tokoh utama tidak menginginkan hal itu
terjadi pada dirinya.
Hal tersebut membuktikan bahwa tokoh utama juga mengalami gangguan stres pasca-trauma di mana ia tidak bisa sama sekali melupakan peristiwa yang dialaminya semasa kecil. Setiap penderita androfobia tidak terkecuali si tokoh utama pasti mengalami stres pasca-trauma.
3. Tidak
suka pergi ke tempat umum
Bagi penderita androfobia,
salah satu hal yang tidak disukai adalah pergi ke tempat umum, seperti ke
sekolah, kantor, pasar, bahkan naik kendaraan umum. Hal ini disebabkan karena
di tempat-tempat tersebut mereka akan bertemu dengan makhluk yang ditakutinya,
yaitu laki-laki. Para penderita androfobia lebih suka menyendiri untuk
menghindari singgungan dengan laki-laki.
Sebagaimana tokoh utama dalam cerpen Ḥālatu Fatāti min Daftari Aḥwāli
‘Iyādatī karya
Nawal El Saadawi yang sangat takut datang ke tempat-tempat umum dan selalu
menghindari keramaian. Hal itu dapat dilihat dari tempat kerja yang dipilih
oleh tokoh utama dan cara tokoh utama berangkat dan pulang kerja setiap hari.
Hal itu bisa dilihat dari cuplikan berikut ini
“Selepas kuliah, ia langsung bekerja
di ruang kantor yang tidak dihuni siapa pun, kecuali dirinya, sebuah gudang
lantai dasar museum kecil dan terpencil yang tidak pernah dikunjungi orang.”
(Nawal, 2018: 21)
“Ia tidak pernah mau naik bus agar tak seorang
pun dapat menempeli tubuhnya dari belakang.” (Nawal, 2018: 22)
Dalam cuplikan
cerpen di atas, digambarkan dengan jelas bahwa si tokoh utama memilih bekerja
di kantor yang kecil dan terpencil dan tidak pernah dikunjungi orang. Hal itu
merupakan cara si tokoh utama menghindari tempat ramai, karena tempat yang
ramai rawan dikunjungi laki-laki.
Kemudian, tokoh utama tidak mau naik bus. Hal ini tidak aneh untuk penderita androfobia karena bus merupakan alat transportasi umum yang di dalamnya menampung banyak orang dan berdesak-desakan, tidak peduli laki-laki ataupun perempuan. Hal itu tentunya sangat dihindari oleh tokoh utama karena berpotensi membuat dirinya bertemu atau bahkan bersentuhan dengan laki-laki. Sementara ia sangat tidak suka dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan laki-laki, terlebih bertemu dan bersinggungan dengan mereka.
4. Merasa panik dan cemas serta sering menghindari hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki.
Bagi penderita
androfobia, sosok laki-laki bagaikan monster yang menakutkan sehingga mereka
selalu menghindarinya. Tidak hanya sosoknya, segala hal yang berhubungan dengan
laki-laki pun berusaha mereka hindari. Bagi penderita androfobia, laki-laki
merupakan ancaman yang bisa saja merenggut nyawa mereka.
Penderita
androfobia akut akan mengalami beberapa gejala, seperti kepanikan, gemetaran, dan mual saat mendengar
laki-laki dibicarakan. Tokoh utama dalam cerpen ini bukan penderita androfobia
akut sehingga gejala yang dialami tidak sampai tahap mual, panik, dan
gemetaran, hanya saja tetap menghindari hal-hal yang berhubungan dengan
laki-laki. Hal itu bisa dilihat pada penggalan berikut ini:
“Ia tidak mengerti sedikit pun
masalah lawan jenisnya. Jika terdengar suara musik atau nyanyian dari rumah
tetangganya, ia akan buru-buru menutup rapat telinga dengan jari-jarinya dan
mengunci rapat semua jendela dan pintu.” (Nawal, 2018: 22)
Penggalan di atas membuktikan bahwa si tokoh utama benar-benar
tidak ingin tahu hal ikhwal yang berhubungan dengan laki-laki. Ia juga
menghindari segala hal yang berhubungan dengan laki-laki, seperti suara musik
karena musik selalu identik dengan laki-laki. Kebanyakan penggemar musik adalah
laki-laki begitu pun pemain musik adalah laki-laki. Maka, untuk menghindari
musik si tokoh utama akan segera menutup rapat telinganya dengan jari-jarinya,
pintu rumah, dan pintu jendelanya agar suara musik yang identik dengan
laki-laki itu tidak terdengar olehnya.
“Laki-laki?” Kata itu sendiri sebenarnya tidak
layak diucapkannya. Seumur hidup belum pernah kata itu meluncur dari mulutnya.
Ia berpikir bahwa orang itu adalah manusia, manusia tanpa jenis kelamin. Tetapi
kumis itu sudah menegaskan bahwa ia adalah laki-laki. Kakinya terpaku di tanah.
Tangannya yang terbungkus sarung hitam terangkat dengan sendirinya menutupi dua
lubang kecil pada kain cadar tebalnya.” (Nawal,
2018: 27)
Penggalan kedua dari cerpen menandakan bahwa si tokoh utama tidak
pernah berurusan dengan hal apa pun yang berhubungan dengan laki-laki. Hal itu
bisa dilihat pada cerita bahwa tokoh utama tidak pernah menyebut kalimat
“laki-laki” seumur hidupnya dan baginya kata “laki-laki” tidak layak diucapkan
olehnya.
Pada penggalan cerita di atas tokoh utama tampak diam terpaku
ketika mengetahui sosok manusia jelmaan patungnya berkumis dan kumis menandakan
bahwa orang itu laki-laki. Diamnya tokoh utama tersebut adalah representasi
rasa cemas dan panik yang dirasakannya mengetahui manusia jelmaan patung yang
disukainya adalah makhluk yang ia takuti selam ini. Akhirnya secara refleks
tokoh utama menutup kedua matanya dengan tangan agar tidak melihat sosok yang
ditakutinya itu.
Melalui penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak dari
pelecehan secara fisik bisa menimbulkan trauma yang membekas hingga seseorang
tumbuh dewasa. Akibat dari trauma itu
pun dapat membuat perilaku seseorang menjadi tidak normal, seperti ketakutan
terhadap laki-laki atau androfobia. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa
cerpen ini merupakan protes Nawal El Sa’adawi terhadap budaya patriarki yang
mendarah daging di lingkungannya.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan