Albayaanaat.com - Nama negara Prancis kini malang melintang di berbagai lini media massa. Bukan karena prestasinya yang gemilang, melainkan karena ulah presidennya yang baru-baru ini membuat masyarakat global meradang. Pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, terkait Islam dan Nabi Muhammad Saw. akhirnya berbuntut panjang dan menuai kecaman. Pernyataannya yang dianggap mendiskreditkan Islam pun mendorong gelombang aksi boikot produk-produk Prancis di sejumlah negara Arab dan negara Muslim.
Namun siapa sangka, negara yang kini produknya diboikot hampir di seluruh negara Arab ini justru merupakan ladang berseminya para intelek dan sastrawan Arab. Banyak pemikir besar dan sastrawan terkenal Arab yang lahir setelah menimba ilmu di sana. Fenomena itu berkaitan erat dengan adanya hubungan antara Prancis dan negara-negara Arab yang mulai muncul ketika salah satu negara pendiri Uni Eropa itu mulai menduduki wilayah dunia Arab pada saat Perang Dunia. Mulai dari Mauritania, Tunisia, Aljazair, Maroko, Suriah, Lebanon hingga Mesir pernah dijajah oleh negara yang identik dengan keromantisannya.
Tidak dimungkiri bahwa pendudukan Prancis di negara-negara Arab melahirkan banyak kesempatan bagi para cendekiawan dan sastrawan Arab untuk lebih mengenal budaya dan ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Barat, khususnya Prancis. Pada masa ini, terjadi diskursus keilmuan antara Arab dan negara Barat, atau pun sebaliknya.
Puncaknya terjadi pada masa kebangkitan Islam, Muhammad Ali Pasha selaku pemimpin Mesir mengirim kaum muda secara besar-besaran untuk belajar ke luar negeri, seperti Austria, Prancis, Inggris, dan Jerman. Tak ayal, lahirlah para pemikir atau cendekiawan, dan juga sastrawan yang menjadi pembuka jalan bagi gerakan revivalisme ilmu pengetahuan dan sastra. Berikut beberapa cendekiawan-sastrawan Arab yang merupakan lulusan universitas di Prancis.
Rifa’at Tahtawi
Intelektual sekaligus sastrawan Arab modern yang lahir di Kampung Tahtawi, Distrik Suhaz, Mesir ini merupakan salah satu pemikir Muslim yang mengenyam pendidikan di Paris, Prancis. Sastrawan yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1801 dan meninggal pada tanggal 27 Mei 1873 ini dianggap sebagai salah seorang pemikir kebangkitan Arab Modern. Kegiatan intelektualnya di Prancis tak lepas dari gurunya yang bernama Syekh Hasan al-Attar (1766—1830) yang merekomendasikannya untuk belajar di Paris pada tahun 1826. Berkat gurunya, Tahtawi bisa belajar pada ilmuwan-ilmuwan Prancis, seperti Silvestre de Sacy, Caussin de Parceval, dan Edme Francois Jomar.
Tahtawi menetap di Paris selama lima tahun. Sebelum kembali ke Mesir pada tahun 1831, ia sempat menerjemahkan lebih dari 12 naskah berbahasa Prancis yang berbentuk artikel maupun buku. Di antara karyanya yang paling representatif dan monumental adalah bukunya yang berjudul Thalis al-Ibriz fi Talshils al-Fariz. Buku ini memuat gambaran sebab-sebab kemajuan Prancis. Di dalam buku tersebut, Tahtawi juga mengajak negara-negara Arab agar menempuh jalan yang sama seperti Prancis dengan tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam.
Mohammad Arkoun
Mohammad Arkoun adalah cendekiawan muslim lulusan universitas ternama di Prancis. Dia lahir pada tanggal 28 Februari 1928 di Tourit Mimoun, Kabilia, Aljazair, yaitu sebuah negara yang pernah diduduki Prancis. Sebagaimana pemikir yang lain, Arkoun juga menempuh pendidikan dasar di tanah kelahirannya. Studinya berlanjut di Universitas Aljir, Aljazair sejak tahun 1950—1954 dengan konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab.
Arkoun lantas meneruskan studinya di Universitas Sorbonne, Paris ketika terjadi huru-hara perang pembebasan Aljazair dari Prancis pada tahun 1954—1962. Ia berhasil meraih gelar Doktor Sastra pada tahun 1969 dengan disertasinya yang berjudul L’Humanisme arabe au IVe /Xe siecle: Miskawayh Philosophe et Historien. Disertasinya tersebut membahas mengenai humanisme dalam pemikiran etika Ibn Maskawaih, pemikir Arab abad ke-10 M dalam bidang kedokteran dan filsafat.
Arkoun menetap di Prancis selama dua puluh sembilan tahun (1961-1990). Situasi dan kondisi di sana memaksa untuk cepat beradaptasi dan mengikuti perkembangan aktual bidang islamologi, filsafat, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dunia Barat. Kesadaran keislamannya yang digabung dengan unsur positif dan kritis dari wacana akademik Barat, membuatnya dikenal sebagai figur sentral dalam debat kontemporer tentang Islam.
Abbas Beydoun
Lahir di Desa Sur, Tyre, Lebanon Selatan pada tahun 1945, Abbas Beydoun dikenal sebagai salah satu intelektual paling terkemuka dan penting di dunia Arab. Ia merupakan lulusan Sastra Arab Universitas Lebanon, Beirut yang terkenal sebagai penyair, novelis, kritikus sastra, dan juga seorang jurnalis. Pada tahun 1970-an, ia bermigrasi ke Prancis dan melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris. Studinya diselesaikan dengan menerima gelar Magister Sastra.
Dalam dunia kepenulisan, Beydoun telah menerbitkan banyak puisi yang juga telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa asing, seperti Italia, Inggris, Jerman, dan Prancis. Beydoun dianggap sebagai salah satu orang berpengaruh dari generasi kedua puisi Arab modern. Ia menulis dalam bahasa yang sederhana, tetapi menggunakan metafora yang kompleks dan berlapis, serta mencoba memutuskan hubungan konvensi politik, sosial, dan sastra.
Beydoun juga menulis beberapa novel. Novel pertama berjudul Tahlil Damm (2002) yang diterjemahkan oleh Max Weiss dan diterbitkan oleh Syracuse University Press dengan judul Blood Test, berhasil memenangkan Arkansas Arabic Translation Award pada tahun 2008. Kemudian novel The Autumn of Innocent yang diterbitkan oleh Beirut Dar al-Saqi juga berhasil menarik perhatian pembaca Arab sehingga memenangkan penghargaan kategori sastra pada Sheikh Zayed Book Awards tahun 2017.
Ahlam Mosteghanemi
Mosteghanemi dikenal sebagai penulis kelahiran Algeria/Aljazair pertama yang karya berbahasa Arabnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Mosteghanemi sempat menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne, Paris. Sastrawan kelahiran 13 April 1953 ini berhasil meraih gelar Ph.D bidang sosiologi tahun 1982 dengan tesisnya yang berjudul L’harmattan as Algerie, Femmes er I’Ecriture.
Kiprah Mosteghanemi di dunia sastra makin gemilang setelah ia sukses meluncurkan novel pertamanya yang berjudul Zakirat al Jassad pada tahun 1993 di Beirut. Novel ini berhasil terjual lebih dari satu juta eksemplar di berbagai negara berbahasa Arab. Berkat kesuksesan penjualan novel tersebut, ia pun memperoleh penghargaan paling bergengsi di bidang sastra Arab, yaitu Naguib Mahfouz Medal for Literature pada tahun 1998. Tak hanya itu, kepiawaiannya dalam menggambarkan perjuangan Algeria pascakolonialisme dalam karya-karyanya juga mengantarkannya menjadi salah satu sosok penulis wanita yang paling disegani di dunia Arab.
Itulah beberapa cendekiawan dan sastrawan Arab yang pernah menimba ilmu di negara Prancis. Sebuah negara yang sedikit ataupun banyak telah memberikan pengaruh pada pemikiran cendekiawan-sastrawan Arab pada masa modern.
Nifiti, penulis lepas pecinta C-drama yang aktif menulis di mynifiti.blogspot.com | Instagram : @nifiti_
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan