Albayaanaat.com – Dekade kedua dari Abad ke-21 ini, mungkin akan menjadi
tahun – tahun paling dikenang oleh warga dunia, khususnya warga dunia
Arab. Karena, tepat di awal dekade
itulah mereka telah menunjukkan pada dunia kebenaran dari statement “Suara
Rakyat Suara Tuhan”. Mulai saat itu, mereka telah membuktikan pada dunia bahwa
bangsa Arab telah berhasil keluar dari cengkeraman rezim otoriter, menuju arah
baru demokrasi yang selama ini mereka impi-impikan.
Siapa sangka jika revolusi yang dikenal sebagai rentetan tragedi The
Arab Spring itu berawal bukan dari Mesir sebagai pimpinan Liga Arab atau
Arab Saudi dengan komoditas Muslim terkuat, atau bahkan negara – negara
petrodollar. Melainkan, sebuah negara yang bisa dibilang underrated; negara tapal kuda, Tunisia.
Revolusi ini pecah pasca tragedi pembakaran diri Bouazizi pada tanggal 14 Desember 2010. Bouazzi adalah pedagang buah yang menjadi objek tindakan diskriminasi aparat. Ia dipukul, dagangannya disita, bahkan dicaci maki keluarganya oleh aparat hanya karena dianggap tidak memiliki izin dagang. Peristiwa Bouazizi sebenarnya hanyalah ledakan dari tumpukan rasa sakit rakyat Tunisia yang sebenarnya sudah lama terpendam. Hidup dibawah rezim otoriter, Zainal Abidin bin Ali, selama 23 tahun membuat rakyat Tunisia merasa terpanggil untuk melakukan perubahan di negerinya.
18 Desember 2011, aksi besar – besaran menuntut keadilan atas Bouazizi yang dikabarkan meninggal tanggal 17 Desember 2011 menyeruak hingga ke sudut negeri. Rakyat menuntut perubahan tatanan demokrasi. Kemenangan Ben Ali dalam 5 kali Pemilu dianggap tak wajar, angka pengangguran yang mencapai 37,7 %, serta lemahnya penegakan hukum menjadi isu utama yang diangkat rakyat Tunisia pada aksinya.
Bisa dibilang ini adalah aksi yang intuisinya benar-benar murni dari rakyat tanpa ditunggangi pihak manapun, termasuk militer. Hanya satu semangat dan satu slogan yang terus di elu – elukan rakyat Tunisia di setiap jalan, Al-Ṣa’b Yurīd atau The People wants. Rakyat menuntut pergantian sistem kekuasaan yang saat itu dianggap otoriter. Kebringasan aksi menyorot perhatian dunia, aksi ini menjadi Headline di media – media Internasional. Ben Ali semakin terdesak, bahkan di embargo oleh berbagai negara tetangga.
Teriakan Al-Ṣa’b Yurīd di dalam aksi – aksi rakyat hingga
kini masih bisa kita lihat melalui kanal youtube. Betapa rakyat Tunisia benar –
benar berjuang untuk impian mereka, Clean Goverment. Siapa sangka?
Slogan ini merupakan interteks dari sebuah syair legendaris, yang dilantunkan
oleh penyair legendaris Tunisia, Abu al-Qasim al-Ṣabbi. Dalam syairnya yang
sangat populer (yang bahkan potongan baitnya dijadikan lirik lagu kebangsaan
Tunisia, Yā Ḥumāt al-Hima) berjudul Irāda-Al-Ḥayāh. Tak jarang
syair ini juga dilantunkan di jalan – jalan, mereka seolah merasakan kehadiran al-Ṣabbi di tengah – tengah aksi mereka. Hal itu menjadi support system
tersendiri bagi rakyat Tunisia.
Syair tersebut berbunyi :
إذا الشعب يوما أراد
الحياة # فلا بد أن يستجيب القدر
فلا بد لليل أن ينجلي
# ولا بد للقيد أن ينكسر
“Jika rakyat
mendambakan kehidupan (yang layak) di suatu hari, maka mereka harus tanggap
akan keadaan (negerinya)
Malam – malam kelam harus berlalu, belenggu pengekangan haruslah dilepaskan”
Al-Ṣabbi mungkin juga tidak pernah menyangka jika syair yang ia tulis pada 16 September 1933 tersebut akan menjadi sebuah karya monumental yang menggerakkan jiwa seluruh rakyat Tunisia 77 tahun kemudian.
Api perjuangan dari syair al-Ṣabbi tersebut bahkan tidak hanya menyulut pergerakan di Tunisia saja, melainkan menjalar hingga ke negara – negara lain, bahkan jika kita search di google, kita akan menemukan slogan Al-Ṣa’b Yurīd atau The People Wants sebagai slogan official dari pergerakan The Arab Springs. Negara – negara lain, seperti Mesir, Maroko, Libya, dan negara – negara Teluk juga mengumandangkan Al-Ṣa’b Yurīd ala negaranya masing – masing.
Di Mesir misalnya, tuntutan akan mundurnya Hosni Mubarak dari kursi presiden diwarnai dengan aksi besar – besaran dengan slogan Al-Ṣa’b Yurīd Isqat Al-Raīs. Aksi yang dikenal sebagai “Revolusi 25 Januari” tersebut akhirnya menuai keberhasilan pada tanggal 11 Februari 2011, dengan pernyataan bahwa Hosni Mubarak mundur dari kursi kepresidenan.
Di Libya, Slogan Al-Ṣa’b Yurid Tafsir Al-Khitab juga mewarnai aksi – aksi rakyat, menuntut Qaddafi The God’s Evil
/ Qaddafi ‘Aduwullah (julukan
pemuka agama untuk Qaddafi) untuk mundur dari kursi kepresidenan yang telah ia
jabat selama 30 tahun lamanya. Sistem “Sosialisme Islam” yang dijalankan
Qaddafi dinilai tidak memiliki kejelasan politik; rakyat tidak punya parlemen; dan semua industri dijadikan milik Negara. Rakyat hampir kehabisan nafas. Kasus pelanggaran HAM oleh tentara – tentara
Qaddafi terjadi dimana – mana hingga akhirnya Syair al-Ṣabbi yang ditranformasikan oleh rakyat Libya saat itu mampu
menjadi semacam kekuatan psikologis yang sangat hebat. Pada tanggal 20 Oktober 2011, Qaddafi dinyatakan meninggal akibat baku
tembak antara pasukan pengawalnya dengan DTN (Dewan Transisi Nasional / al-Majlis al-Waṭany al-Intiqāli) anti-Qaddafi.
Al-Ṣa’b Yurīd, kini menjadi motto perjuangan bangsa Arab
melawan kepemimpinan otoriter dan penjajahan, bahkan banyak bermunculan partai politik menggunakan nama tersebut. Angin segar itu tak lain dan tak bukan datang dari pena seorang penyair jalanan, Abu al-Qasim al-Ṣabbi. Dalam bukunya,
Dr. Syauqi Dhaif pernah memberi statement bahwa belum ada penyair yang
memiliki sensitifitas politik kerakyatan selevel al-Ṣabbi setidaknya hingga saat itu.
Muhammad Bachrul Ulum, penulis adalah masahiswa aktif magister Bahasa dan Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pengelola lisanuna.com. Ig: @bachrul_97
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan