Di
suatu pagi yang masih dingin, aku duduk di bibir gubuk pinggir sawah. Sebuah gubuk
reot yang telah lama dibangun oleh bapak, dua puluh tahun yang lalu. Masih kuingat
betul bagaimana dulu bapak dengan susah payahnya membangun gubuk tersebut untuk
anak-anaknya. Setiap selesai membajak sawah atau menanam padi, bapak langsung
lanjut memasang dan mengaitkan bambu demi bambu yang telah disiapkannya. Aku,
yang saat itu masih sangat belia, hanya bisa memandang dengan sesekali
merecokinya. Bapak tidak marah, justru ia membiarkanku melakukan apa yang
membuatku kala itu penasaran.
“Tahu
kan, Le, gimana kalau ndak hati-hati?” ujar bapak saat melihatku menangis
sembari mengadu lantaran tanganku tersusup gelugut bambu yang masih muda. Bapak
lalu mengusapkan telapak tangan kananku ke rambutnya, “nanti kalau terkena
lagi, begini cara membersihkannya” nasehat bapak yang saat itu hanya kujawab
dengan anggukan.
Sejak
dulu, bapak selalu menasehati dan mengajari anak-anaknya dengan cara-cara
sederhana. Ia tidak suka melarang anak-anaknya untuk melakukan hal baru,
asalkan masih dalam batas wajar dan tidak melanggar norma ataupun nilai-nilai
di dalam masyarakat. Ia juga tidak suka memaksa anak-anaknya untuk mengikuti
semua kehendaknya. Bapak lebih suka memberi pelajaran langsung dalam kehidupan
ketimbang harus memberi banyak teori yang justru hanya didengar namun tidak
diterapkan.
Di dalam gubuk itu, dulu bapak selalu bercerita tentang kisah Si Kakek Tua. Yamin, namanya. Seorang lelaki paruh baya berbadan kurus dan berkulit hitam legam. Rambutnya dibiarkannya gondrong dan jarang disisir. Bajunya selalu terlihat lusuh dan kumal. Sesekali terlihat bagus dan wangi hanya saat hari raya tiba atau sewaktu jamaah sholat Jumat di masjid saja atau ketika dirinya bermunajah kepada Sang Khaliq semata. Orang-orang di desanya menyebut dirinya sebagai “Orang gila” lantaran kerjaannya hanya mencari rongsokan, memungut sampah, dan menanam pohon-pohon di bantaran sungai yang hanya dialiri air ketika musim hujan tiba.
“Apakah tidak ada pekerjaan lain yang dapat dikerjaan selain memungut sampah dan menanam pohon-pohon ini saja, Pak?” tanya salah seorang tetangga yang rumahnya hanya berjarak lima puluh meter dari kediamannya. Si kakek tua itu hanya tersenyum tanpa mengucap sepatah kata. Ditepuknya beberapa kali pundak kanan lelaki itu pelan. Ada makna tersirat yang disampaikan melalui sorot matanya. Lelaki muda tersebut kemudian terdiam tanpa mau mengajukan pertanyaan lagi.
Tidak
hanya satu atau dua orang saja yang menanyakan hal tersebut. Sudah puluhan
orang datang kepadanya dan menanyakan hal yang sama. Tetapi, sebagaimana yang
sudah-sudah, kakek tua itu hanya tersenyum seraya menatap dengan tatapan penuh
makna. Hanya itu satu jawaban yang selalu ia berikan.
“Dia
bisu ya, Pak?” tanya kakak sulungku kepada bapak berusaha menyimpulkan keadaan
kakek tua dalam kisah tersebut. Bapak menggeleng dengan senyum. Aku melirik ke
arah kakakku. Dahinya nampak mengkerut. Aneh, kenapa bapak tidak menjawab pertanyaan mas Wahyu? pikirku waktu itu dengan sangat polos.
Bapak
kembali melanjutkan ceritanya. Aku, yang saat itu tidak terlalu nyaman dengan
kisah-kisah orang dewasa, merasa bosan dan jenuh. Bahkan, berkali-kali harus menahan
rasa kantuk yang mulai menghampiri dan memaksa kedua mataku untuk segera
memejam.
Harusnya
bapak mengerti, kalau aku masih terlalu kanak-kanak untuk mendengar kisah
seperti itu, gerutuku dalam hati
dan memang hanya hatikulah yang mendengar. Namun anehnya, gelagat tidak nyamanku
selalu diketahui oleh bapak. Meski demikian, bapak tidak pernah memarahi atau
memaksaku agar tetap diam dan kembali
menyimak dengan baik kisah yang sedang diceritakannya hingga selesai.
“Pak,
boleh kami bermain sebentar?” pinta Kakakku nomor dua yang kemudian diiyakan
oleh bapak. Mendengar itu, mataku lantas
terbuka lebar dan rasa kantukku pun menghilang. Aku langsung berlari menuju
sepedaku. Goesan sepeda, nyatanya lebih menarik
perhatianku ketimbang dongeng-dongeng rakyat yang selalu bapak kisahkan. Entah
karena aku memang tidak suka atau karena gaya penyampaian bapak saja yang tidak
nyaman untuk anak seusiaku.
Lalu,
kami bertiga bermain bersama. Bersepeda, berlarian, dan kejar-kejaran dipinggir
sawah tiada henti. Sampai akhirnya, terdengar suara ibu memanggil kami semua untuk makan
siang. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah mendengar suara ibu memanggil, kami
lantas berlomba siapa yang lebih cepat sampai ke gubug dan duduk bersebelahan
dengan ibu. Dan, lagi-lagi aku kalah karena langkah kakiku kalah cepat dari kedua kakakku. lalu, aku menangis.
Aku
menatap hamparan alam yang masih basah oleh embun pagi. Masih teduh dengan
kabut tebal yang
menyelimuti. Masih syahdu dengan
lantunan ayat-ayat suci Al Quran dan lantunan
selawat yang selalu didendangkan di
setiap pagi tiba sebelum dhuha. Aroma pagi semerbak dingin menggerogoti tulang. Kueratkan jaket tebal
yang melekat di tubuhku sejak semalam. Lalu, mengingat bagaimana masa kecilku
dulu banyak kuhabiskan di gubuk tersebut. Bermain, belajar, hingga tertidur
pulas sepanjang siang sampaimenjelang ashar.
Aku
mulai merebahkan tubuhku di atas bilah-bilah bambu yang sudah mulai keropos termakan
usia. Kusandarkan kepalaku di atas kedua telapak tanganku sembari menatap atap gubuk yang sudah reyot dan berlubang.
Dari balik lubang atap gubuk tersebut, akan terlihat jelas bagaimana awan-awan putih
menggumpal di atas sana. Jika musim hujan tiba, sudah tentu air akan cepat
masuk dan merembes sampai ke dalam gubuk. Aku hanya bisa menghela nafas
panjang, seraya kembali menikmati aroma pagi yang masih terlalu dini jika harus disodorkan banyak pertanyaan, Mengapa?.
Kupejamkan
mataku dan kembali mengingat bapak melanjutkan kisah tentang Si Kakek Tua itu
setelah menyantap makan siang. Kali ini, bapak mendongeng mengikuti gaya pak
Raden. Seorang pendongeng legendaris Indonesia yang identik
dengan blangkon, beskap, dan kumis tebalnya. Aku duduk manis dengan bersila
persis di depan bapak. Kudongakkan kepalaku agar sampai pandanganku ke wajah bapak.
Sebagaimana
yang sudah bapak kisahkan sebelumnya, si kakek tua itu masih saja rajin
mengumpulkan rongsokan, sampah-sampah plastik, dan merawat pohon-pohonnya yang
jumlahnya sudah mencapai ratusan. Ia tidak pernah peduli bagaimana orang-orang sekitar
selalu mencemooh dan mencaci maki dirinya. Bagi mereka, kakek tua itu terlalu
kotor dan menjijikkan. Tidak sedikit dari mereka yang banyak mengutuk dan
mengucap sumpah serapah untuk si kakek dan keluarganya. Dan sekali lagi,
lelaki itu tidak pernah balik membalas.
Hingga
suatu ketika, desa tersebut dilanda kekeringan yang cukup parah akibat kemarau
berkepanjangan. Hampir satu tahun, hujan tidak pernah turun. Sesekali turun,
hanya gerimis kecil saja. Tidak cukup ditampung walau hanya setengah ember.
Mereka harus mencari sumber air dari satu tempat ke tempat yang lain yang
jaraknya sangat jauh. Setiap harinya, mereka terus mengeluh dan mengeluh sampai
akhirnya putus asa dan menyerah. Para penduduk desa mulai berbondong-bondong meninggalkan
desa itu dan pergi mencari tempat tinggal lain yang lebih asri dan subur.
Bahkan, beberapa di antara mereka juga ada yang nekat pergi ke Ibukota dan mengadu
nasib di sana.
“Semua
ini terjadi akibat ulahmu. Tuhan mengutuk desa ini karena manusia sepertimu. Lihat,
bagaimana mereka harus berbondong-bondong mencari penghidupan yang baru. Apa kamu
tidak mendengar tangisan anak-anak itu sebab kelaparan? Bayi-bayi menangis
sepanjang malam dan wanita-wanita harus bertahan dalam ketidakberdayaan. Terkutuklah
wahai kau, Yamin. Seandainya dulu kamu mau mendengar perkataanku dan berhenti
menjadi manusia gila. Tentu Tuhan tidak akan pernah mengutuk desa ini. Terkutuklah
wahai kau, Yamin, terkutuklah”.
Itulah satu-satunya umpatan, kutukan, dan sumpah serapah yang paling menyakitkan bagi si kakek tua. Siapa pernah tau, bahwa pada akhirnya adik semata wayangnya yang begitu dicintainya pada akhirnya akan mengatakan hal yang teramat menyakitkan seperti itu kepada dirinya. Sungguh melukai hatinya. Ditahannya amarah yang sudah mencekat kerongkongannya itu sebab rasa sayang kepada saudara laki-lakinya. Semoga Tuhan mengampuni segala ucapanmu dan semoga engkau dijauhkan dari segala bala, begitu doanya.
Meski semua
penduduk desa sudah pergi meninggalakan desa, si kakek tua itu justru memilih tetap bertahan
dan bersabar melanjutkan hidup di desa tersebut. Ia bersama keluarga kecilnya berusaha
bertahan hidup dengan mengandalkan sumber air dari belik-belik yang terletak
cukup jauh dari kediamannya. Mereka terus bertahan, berusaha, dan berdoa kepada
Tuhan, semoga desa yang sudah sepi penghuni itu akan lekas diberkahi hujan. Si
kakek tua itu sama sekali tidak pernah mengeluh meskipun setiap hari harus
mencari sumber air dari satu belik ke belik lain untuk bertahan hidup dan
menghidupi pohon-pohon yang telah ditanamnya. Jika tidak cukup, ia akan gunakan
uang hasil menjual rongsokkannya untuk membeli air walau tidak seberapa banyak.
Hari
demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, hujan pun akhirnya turun dengan
lebatnya. Seolah Tuhan menurunkan rahmatnya untuk orang-orang yang bersabar. Si
kakek tua itu nampak tersenyum bahagia melihat alam mulai basah oleh butiran
suci dari langit. Sawah-sawah yang tadinya mati, mulai kembali banyak dialiri
air. Termasuk sungai-sungai dan juga parit-parit pinggir jalan. Pohon-pohon
yang ditanamnya pun semakin hari semakin tumbuh subur, besar, kokoh, dan
kuat. Kegersangan yang dulu sempat melanda kini tertutupi oleh rindang dari rerimbunnya
daun pepohonan.
Pohon-pohon
besar itu banyak menyimpan cadangan air. Bahkan, ketika musim
kemarau kembali tiba, penduduk desa
tidak akan kepayahan lagi mencari air karena sumber air banyak terdapat di
mana-mana. Sawah-sawah juga tidak akan kekeringan lagi, karena air sungai cukup untuk mengaliri
sawah-sawah mereka. Kemudian, desa itu menjadi asri, bersih, dan nyaman. Tidak
ada lagi sampah-sampah plastik yang mengotori sepanjang aliran sungai dan
suara-suara umpatan manusia lantaran Tuhan tak kunjung menurunkan hujan.
Mereka yang dulu memutuskan pergi meninggalkan
kampung halaman, kini kembali pulang sebab kabar bahagia telah sampai ditelinga
mereka. Sumpah serapah yang dulu pernah mereka lontarkan, kini berbuah rasa
malu yang menjadikan mereka berjalan dengan kepala menunduk. Kutukan-kutukan yang teramat menyakitkan itu nyatanya tak pernah ada.
“Apa yang kamu tanam, itulah yang akan kamu tuai”
begitu nasehat bapak, “selalu berbuat baik kepada orang, karena kita tidak
pernah tahu pada tangan mana Tuhan titipkan rezeki untuk kita” lanjutnya sebagai
penutup kisah dari si kakek tua itu.
Aku
menghela nafas panjang sebelum akhirnya bergegas pulang sebab hari sudah mulai
siang. Usai menamatkan satu kisah dikepalaku, lantas aku kembali duduk menghadap ke arah hamparan sawah yang menghijau luas.
Tarikan senyum mereka di kedua pipiku saat melihat sesosok bayang melambai ke arahku.
“Terimakasih, Kek, warisanmu nyatanya tidak ‘Gila’ seperti yang selalu mereka sematkan untukmu dan lebih mulia dari sumpah serapah serta kutukan yang mereka lontarkan kepada kelaurgamu. Cucumu kini sudah besar dan menikah. Dan dikaruniai seorang anak perempuan cantik, yang kami beri nama, Oriza Sativa Yamin”.[]
Lia Nurhayati, penulis merupakan seorang blogger, penulis lepas, dan mahasiswa aktif Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dan ini, merupakan salah satu hasil karyanya yang diadaptasi dari kisah nyata. Ig:_Hayatihamka
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan