Albayaanaat.com - Eksistensi
sastra di Indonesia masih dianggap kurang penting atau masih kalah dengan bidang
ilmu lain yang mampu membuahkan hasil yang praktis. Tidak dapat dimungkiri lagi
bahwa tidak banyak orang yang mau membaca dan menghayati sastra, apalagi
menjadikannya sebagai sumber hikmah (kebijaksanaan). Tidak banyak program riset
yang ditawarkan dalam bidang sastra karena hasilnya dianggap tidak ‘kasat mata’.
Sekiranya pun ada, sering kali tidak dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas
dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Kondisi inilah yang menjadi potret budaya masyarakat kita yang
kurang menyeimbangkan antara ilmu tangible (kebendaan) dan intangible
(nonkebendaan) atau ilmu praktis dan nonpraktis. Setiap cabang ilmu seyogyanya
saling ‘menyapa’ agar tidak terjadi hierarki atau pengkastaan ilmu. Karena sejatinya,
tidak ada satu pun cabang ilmu yang berdiri sendiri (independen), ilmu yang
satu pasti akan saling memerlukan dan menyapa ilmu yang lain. Apabila kita
memikirkan pengembangan ilmu yang bermuara pada peningkatan kualitas peradaban
manusia dan harmonisasi antar manusia dengan sesamanya dan semesta, sastra
menjadi penting.
Baca Juga
Eksistensi sastra di tengah masyarakat dapat berfungsi sebagai
pembentuk karakter individu-individu dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena
sastra menggambarkan berbagai tipologi dan karakter manusia, sebab sastra itu
diciptakan sebagai eksternalisasi dari berbagai pengalaman hidup yang ada dalam
masyarakat (Manuaba, 2009b). Berbagai tokoh cerita dengan karakternya
masing-masing memungkinkan pembaca untuk merenungkan dan menilai karakter mana
yang kiranya dapat diteladani dan ditolak.
Dalam sastra, tokoh-tokoh cerita yang dihadirkan layaknya manusia
yang memiliki tiga dimensi: fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Sastra
dapat merefleksikan berbagai gagasan baru, alternatif struktur sosial baru, dan
seterusnya. Semua itu disajikan dengan gaya kepengarangan yang variatif dan
kompleks, tetapi muaranya adalah semangat perbaikan hidup yang lebih baik, secara
individu maupun kolektif.
Baca Juga
Makna-makna tersirat yang dikandung dalam sastra memungkinkan
pembaca untuk merenungkan dan menggalinya sendiri. Menurut Riffatterre (1978),
sastra mengatakan sesuatu secara tidak langsung (displacing of meaning,
creating of meaning, dan distorting of meaning) dan makna tidak terletak
pada apa yang menampak, tetapi secara fenomenologis yang ada di balik yang
menampak. Oleh karenanya, setiap pembaca dapat memaknai sendiri berdasarkan
wawasan dan kecerdasannya.
Proses pembentukan karakter ini pun terjadi sangat ‘alami’ tanpa
ada paksaan dan secara tidak langsung. Mengapa demikian? Karena pembaca
mengalami sendiri interaksinya dengan teks yang sedang ia baca dan dalam
kondisi yang ia ciptakan sendiri. Proses inilah yang kemudian membuat kesadaran
pembaca menjadi kuat terhadap nilai-nilai yang ia dapatkan dari sastra, baik
nilai-nilai positif maupun negatif. Pembaca sendirilah yang pada akhirnya
mengaplikasikan nilai-nilai positif yang ia anggap berguna dalam kehidupannya
dan menolak nilai-nilai negatif yang dijumpainya dalam sastra.
Baca Juga
Semua proses ini terjadi secara mandiri, dengan pertimbangan dan refleksi yang mendalam, sehingga proses penyadaran akan terjadi sangat murni dan alami karena pembaca memiliki otoritas yang penuh terhadap dirinya (Manuaba, 2013). Inilah proses penyadaran sastra yang akan membentuk karakter diri seseorang dan masyarakat yang penuh komparasi, berwawasan, dan memiliki nilai moral.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan