Albayaanaat.com - Salah
satu fenomena psikologi sosial yang masih bertahan untuk diterapkan sampai
sekarang adalah ramalan swawujud atau ramalan yang bisa terwujud dengan
sendirinya. Ramalan swawujud memprediksi suatu hal positif maupun negatif. Prediksi
tersebut kemudian bisa terwujud dengan sendirinya akibat umpan balik dari yang
memprediksi, seperti tagline ‘you are what you think’ yang
dipercaya bisa mendorong seseorang menjadi baik atau menjadi buruk sesuai
dengan presepsi dan pikirannya sendiri. Dalam ranah psikologi, kekuatan
berpikir seseorang yang berkaitan dengan ramalan swawujud itu memiliki konsep lebih
kompleks yang disebut Pygmalion Effect. Konsep tersebut mengungkapkan
bahwa segala sesuatu yang kita pikirkan atau harapkan agar terjadi, seringkali
akan betul-betul menjadi kenyataan.
Baca Juga
Jauh sebelum Pygmalion Effect dikembangkan dalam psikologi,
nama Pygmalion sendiri sudah lama dikenal di dunia sastra. Pygmalion pertama
kali muncul sekitar abad ke-43 SM dalam bentuk prosa yang ditulis oleh penyair
Romawi, Publius Ovidius Naso. Pada salah satu kumpulan prosanya yang berjudul Metamorphoses,
Ovid menuliskan kisah tentang seorang pematung bernama Pygmalion yang jatuh
cinta pada patung hasil pahatannya sendiri yang diberi nama Galatea. Pygmalion
memperlakukan Galatea layaknya manusia dan terus berdoa agar patung yang dicintainya
tersebut bisa berubah menjadi wanita riil. Hingga pada suatu hari, Dewi
Aphrodite mengabulkan doa Pygmalion. Galatea benar-benar hidup. Di
beberapa sumber disebutkan bahwa mereka akhirnya menikah dan memiliki seorang
putra bernama Paphos.
Baca Juga
Kisah Pygmalion kemudian diadaptasi oleh para sastrawan dan
seniman dalam berbagai versi seperti; film, novel, lukisan, opera, lirik lagu,
drama musikal, balet, komik, video game, bahkan konsep (teori) seperti Pygmalion
Effect. Dari mitologi kuno tersebut, fenomea dimana harapan seseorang yang
begitu kuat secara fantastis bisa/akan menjadi kenyataan, menjadi akar munculnya
gagasan konsep psikologis Pygmalion Effect.
Keterkaitan antara konsep pskilogis dan naskah kuno Pygmalion dapat ditelisik melalui kajian sastra banding. Umumnya, peran sastra banding adalah mengamati sejumlah karya sastra yang memiliki aspek historis serupa dan berkaitan. Keterkaitan tersebut bisa dari segi bahasa, istilah yang digunakan, estetika, gagasan pokok, atau keterkaitan dari segi tema, tokoh, maupun latar. Sehingga, hal yang diperbandingkan meliputi unsur intrinsik (teks) dan unsur ekstrinsik (konteks). Selain itu, kesamaan dan perbedaan dua karya yang akan dibandingkan juga menjadi perhitungan dalam amatan sastra banding.
Melalui penjelasan di atas dapat diasumsikan bahwa prosa
Pygmalion merupakan salah satu maha-karya klasik yang ceritanya selalu dan
terus diperbaharui dengan berbagai versi. Munculnya gagasan tentang konsep
psikologis Pygmalion Effect juga merupakan pengaruh dari mitologi Pygmalion.
Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksah. Terimakasih.
1 Komentar
Pygmalion effect dimaksud seperti ada kemiripan dengan kognisi masyarakat umum dengan istilah afirmasi impian kah?
BalasHapusSilahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan