“Nyai Ontosoroh” Sosok Perempuan Hebat yang Menjadi Potret Pribumi Bermartabat dalam Novel Bumi Manusia
Oleh Haanadza Putri
Bumi Manusia,
siapa yang tidak kenal dengan novel yang satu ini? Novel yang tergabung dalam Tetralogi
Buru karya Pramoedya Ananta Toer menjadi menarik untuk dikaji karena
menampilkan sosok wanita sebagai pemeran utama dengan sudut pandang yang
berbeda. Dalam sebuah buku yang berjudul Sastra Perempuan Seksi, Katrin
Bandel menyatakan bahwa Pram adalah salah satu dari sangat sedikit penulis yang
sejak dulu menaruh perhatiannya pada tulisan yang bersifat realisme sosialis.
Cerita “Nyai” tampak sangat populer
sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Banyak penulis yang mencoba
mendeskripsikan wanita melalui karya-karyanya, sebut saja novel Tjerita Njai
Dasima karya G.Francis, Siti Nurbaya karya Marah Roesli, Cantik
itu Luka karya Eka Kurniawan, dan masih banyak novel yang menceritakan
sosok wanita dari masa Kolonialisme. Dilansir dari wikipedia, pada saat itu
sebutan “Nyai” dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan
karena statusnya sebagai seorang istri simpanan.
<Ilustrasi Gambar: https://www.qureta.com> |
Dengan berlatarkan masa penjajahan, Bumi
Manusia menceritakan sebuah pengalaman seorang Nyai Ontosoroh bersama
tuannya, Mellema, yang berkebangsaan Belanda. Di sini, Pram memunculkan sosok Sanikem
atau yang lebih dikenal dengan Nyai Ontosoroh sebagai wanita pribumi yang
merasa terkutuk dan diberkahi menjadi seorang nyai. Ada beberapa karakter Sanikem
yang ditampilkan oleh Pramoedya Ananta Toer yang dimunculkan bukan untuk
kepentingan imperialis melainkan sebagai wujud ketidakpuasan atas karya-karya
Balai Pustaka yang kala itu dianggapnya “konon” sastra Indonesia.
Pada awalnya, Nyai Ontosoroh adalah wanita
lemah yang tak berdaya. Hal itu terlihat ketika ayahnya tega menjual dirinya
kepada Tuan Mellema hanya demi memperoleh jabatan tinggi di daerahnya.
Ketidakberdayaan tersebut nyatanya juga dimiliki oleh sosok wanita lain yakni
ibunya sendiri. Wanita itu sama sekali tak kuasa menahan anaknya sendiri untuk
dijual. Seolah tak ingin melawan kehendak suami, ia pun merelakan anaknya untuk
dijual kepada tuan berkebangsaan Belanda. Sejak peristiwa itu, Sanikem mulai menyimpan
dendam kepada keluarganya bahkan ia bertekad untuk menjadi lebih sukses
walaupun hanya seorang nyai.
Baca juga: Tatik Maryatut Tasnimah & Peranan Perempuan dalam Dunia Sastra
Baca juga: Tatik Maryatut Tasnimah & Peranan Perempuan dalam Dunia Sastra
Menyadari dirinya hanyalah seorang pribumi
yang telah menjadi seorang nyai, Sanikem lantas menjadikan
dirinya sebagai sosok yang keras hati, tekun, teliti, dan mau belajar ilmu
baru. Dibantu dengan tuannya, ia banyak mempelajari hal baru, mulai dari
membaca, menulis, memasak makanan Belanda hingga berbicara bahasa Belanda, dan
mengelola sebuah perusahaan. Ketekunan Sanikem inilah yang pada
akhirnya membuat Tuan Mellema jatuh hati kepadanya dan berniat untuk
menikahinya secara sah. Namun sayang, peradilan Belanda tidak pernah
mengizinkannya.
“Nyai seorang murid
yang baik dan mempunyai
kemampuan berkembang sendiri setelah mendapatkan modal pengertian dari tuannya.” (Bumi Manusia, 120).
kemampuan berkembang sendiri setelah mendapatkan modal pengertian dari tuannya.” (Bumi Manusia, 120).
Sadar akan kedudukannya sebagai seorang nyai,
membuat Sanikem
tidak pernah merasa tenang. Ia menganggap kapan saja ketika tuannya bosan bisa
meninggalkan dirinya beserta anak-anaknya pulang ke Netherland tanpa kembali.
Ia harus siap menghadapi itu semua. Kesadaran ini diceritakan langsung oleh
sang tokoh melalui pengalaman serta perjalanan hidupnya. Di dalam bab lima juga
tergambar jelas bagaimana perkembangan psikologis seorang Sanikem atau Nyai
Ontosoroh dari waktu ke waktu.
Hal yang tidak pernah lepas dari
karakter wanita dalam sebuah cerita adalah ketergantungan seorang wanita
terhadap laki-laki. Nyai Ontosoroh juga memiliki ketergantungan yang sangat
besar terhadap Tuan Mellema. Hal tersebut dapat dilihat mulai dari sikap pasrah
saat dirinya dijual oleh ayahnya sendiri hingga ketika ia sudah hidup bersama tuannya
yang selama menjalani kehidupannya ia hanya disibukkan oleh
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ketika kelak dirinya benar-benar
ditinggalkan oleh Tuan Mellema. Sebab, ketika Tuan Mellema meninggal, ia tidak
akan pernah memiliki hak apapun, baik harta warisan, perusahaan, maupun hak
asuh bagi anak-anaknya karena memang dirinya bukan istri sah dari Tuan Mellema.
Potret Tuan Mallema sedang Menghalangi Nyai Ontosoroh dalam Film Bumi Manusia
Hal yang menjadi sangat miris ketika melihat sosok Nyai Ontosoroh adalah
bahwa wanita pada masa itu hanya sebuah konstruk sosial yang sangat tidak adil.
Sebab pada masa itu wanita begitu diremehkan dan dianggap sebagai
barang yang mampu dijual dan diperbudak begitu saja. Namun, beruntungnya Nyai
Ontosoroh karena ia wanita yang sangat sadar akan pentingnya pendidikan dan
tuannya sendiri tidak pernah memosisikan sebagai budak justru ia dibayar atas
kerja kerasnya selama membantu Tuan Mellema di perusahaan.
Setelah melihat karakter Nyai Ontosoroh, tergambar jelas bagaimana
perjuangan seorang wanita dalam mempertahankan hidupnya sebagai seorang nyai yang memiliki kasta
rendah di kalangan masyarakat kala itu. Perempuan bukan
sebagai sosok yang hanya pantas dikasihani melainkan dikagumi dan dijunjung
tinggi. Inilah perempuan yang ingin ditampilkan oleh seorang Pramoedya Ananta Toer, sebagaimana
Katrin Bandel mengutip wawancara Bumi Manusia di majalah TEMPO, 30 Agustus 1980
dalam bukunya “Sastra Wanita Seks” seperti kutipan berikut ini. “Saya hanya
menghendaki bahwa orang pribumi itu kalau diinjek tidak meletet. Tidak gepeng.
Tidak pipih kena injak. Semakin dia ditindas semakin bangkit. Ya, mungkin ada
yang tidak setuju tapi itulah yang saya inginkan”
Di dalam buku ini, Pram juga berusaha memnggambarkan Nyai Ontosoroh
sebagai potret seorang pribumi wanita yang bermartabat. Meskipun ia selalu
dihina dengan keadaan hidupnya yang tak lebih hanya seorang nyai yang tidak
memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Namun, ia terdorong untuk terus
berusaha dan bekerja keras serta belajar agar diakui sebagai seorang manusia.
Sebab, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk melawan penghinaan,
kebodohan dan kemiskinan adalah dengan belajar.
Baca juga:
Beraspirasi Melalui Karya Sastra
BSA UIN Sunan Kalijaga Sukses Gelar Sukarabic Fest 2019 Kali ke-2
Baca juga:
Beraspirasi Melalui Karya Sastra
BSA UIN Sunan Kalijaga Sukses Gelar Sukarabic Fest 2019 Kali ke-2
Sosok Nyai Ontosoroh nyatanya telah
menginspirasi banyak orang terutama perempuan Indonesia. Mereka mempelajari
banyak hal dari karakter Nyai sebagai wanita yang tegas dan tekun dalam
mempelajari sesuatu. Meskipun akhir kisah Nyai Ontosoroh tragis, karena harus
berhadapan dengan hukum kolonial yang tak memperbolehkan “Nyai” memiliki hak
waris, bahkan terhadap anak kandungnya sendiri, tetapi dia telah melawan dengan
sebenar-benarnya perlawanan yang bermartabat sebagai Perempuan.
Dan Nyai Ontosoroh hanyalah satu kisah suara perempuan di antara sekian banyak karya Pram yang lain. Kita masih membaca cukup banyak yang mengetengahkan tokoh perempuan sebagai figur sentral, di antaranya ada Midah, Si Manis Bergigi Emas, Gadis Pantai, Larasati dan tentunya Tetralogi Buru karena, sosok perempuan dalam karya Pram selalu muncul dengan karakter yang sulit dilupakan.
Dan Nyai Ontosoroh hanyalah satu kisah suara perempuan di antara sekian banyak karya Pram yang lain. Kita masih membaca cukup banyak yang mengetengahkan tokoh perempuan sebagai figur sentral, di antaranya ada Midah, Si Manis Bergigi Emas, Gadis Pantai, Larasati dan tentunya Tetralogi Buru karena, sosok perempuan dalam karya Pram selalu muncul dengan karakter yang sulit dilupakan.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan