Al-Syanfarah Dan Kepiawaiannya Dalam Menulis Syair Tentang Perempuan
Oleh : Rahning Asri Anum
Dalam lintas sejarah Arab tidak hanya berfungsi
sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan emosi bangsa Arab, tetapi
syair juga memiliki peranan penting dalam sistem sosial budaya bangsa Arab.
Melalui syair, bangsa Arab dapat menginformasikan banyak hal yang berhubungan
dengan kehidupan mereka, seperti melukiskan peperangan yang mereka alami
kondisi lingkungan yang menjadi tempat tinggal mereka, dan hal-hal yang
membanggakan bagi mereka, sehingga syair juga disebut diwan al-Arab atau
catatan sejarah bangsa Arab.
<Ilustrasi gambar : https://www.vetogate.com>d |
Baca Juga:
BAHASA INDONESIA STADIUM 4 (Bagian Satu)
SEBAIT RINDU
<Ilustrasi gambar: https://catatanabp.wordpress.com/> |
Baca Juga :
SEMARAK PEKAN BUDAYA 2018 FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Secara fisik hal ini terlihat dari ungkapan penyair sebelum istrinya pergi meninggalkan rumah untuk urusan yang tidak dapat ditinggalkan, terlebih dahulu ia menyelesaikan semua urusan rumah tangganya, sedangkan secara mental terlihat dari peranannya dalam menyelesaikan berbagai problematika yang menghampiri keluarganya, selain itu ia juga selalu menjaga kehormatan keluarganya.
Adapun citra sosial ditunjukkan oleh Umaimah (istri-istri) melalui kepeduliannya terhadap sahabat dan tetangganya, hal ini terlihat pada ungkapan penyair pada saat umaimah memberikan tetangganya minuman, meskipun tidak seberapa, akan tetapi dengan hal yang sederhana tersebut dapat menyenangkan orang lain.
Oleh karena itu, selain sebagai karya
sastra bagi masyarakat Arab Jahiliah syair juga sebagai representasi dari pola
pikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan, sehingga untuk mengetahui citra
perempuan pada masa Jahiliah di dalam syair ada baiknya untuk memahami mengenai
syair pada masa Jahiliah terlebih dahulu.Syair adalah bagian dari seni yang
menggunakan bahasa sebagai medianya, sebagaimana musik dengan iramanya, gambar
dengan aneka warnanya, dan tarian dengan gerakannya, dan lain-lain (Buana,
2010). Definisi klasik yang diberikan oleh para sastrawan Arab terhadap syair
selalu merujuk pada makna yang diberikan para ahli Arudh, sebagai contoh definisi yang diberikan oleh Qudamah ibn Ja’far, yaitu
al-kalam al-mauzun al-muqaffa’ atau untaian kata yang disusun berdasarkan wazan
(matra) dan qafiyah (rima).
Pada dasarnya definisi ini dibuat
untuk membedakan antara jenis puisi dan prosa dalam sastra Arab sehingga hanya
menampilkan aspek fisik semata namun setelah mengalami perkembangan, para
sastrawan menambahkan aspek lain yang memengaruhi syair ke dalam definisi
tersebut. Menurut pakar sastra Arab definisi sastra yang klasik dianggap kurang
representatif, karena tidak menunjukkan makna syair yang sebenarnya dan hanya
mengacu pada aspek bentuk semata. Seperti definisi yang dikemukakan oleh
al-Amadi, menurutnya syair adalah ungkapan yang bagus, mudah dipahami,
menggunakan diksi yang tepat, meletakkan lafaz sesuai dengan maknanya dan
meletakkan makna sesuai konteksnya, serta menggunakan isti’arah (metafora) dan
tamtsil (perumpamaan) secara tepat.
Adapun yang dimaksud dengan Jahiliah adalah
periode sejarah bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Definisi ini dijumpai pada
hampir setiap buku yang membahas tentang sejarah Islam maupun sejarah sastra
Arab. Istilah Jahiliah muncul setelah agama Islam datang. Definisi tersebut
disimpulkan dari beberapa ungkapan masyarakat Arab, seperti ungkapan Umar ibn
al-Khatab, “inni nazartu fi al-Jahiliyati an a’takifa”, “aku berjanji untuk
melaksanakan i’tikaf pada masa Jahiliah”. Berdasarkan hal ini, maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan syair Jahiliah adalah syair yang digubah
sebelum datangnya agama Islam meskipun secara historis sangat sulit menetukan
kapan syair Jahiliah mulai lahir dalam tradisi masyarakat Arab. Jika yang
dimaksud dengan syair Jahiliah adalah syair yang digubah sebelum datangnya
agama Islam.
Maka yang dimaksud dengan perempuan Jahiliah
adalah perempuan yang hidup pada periode tersebut. Penyair Arab membagi tema
syair mereka menjadi beberapa bagian yang dikenal dengan istilah agradl
al-syi’r. Tema-tema puisi yang digubah oleh para penyair Arab berkaitan erat
dengan kondisi sosiologi, dan budaya bangsa Arab pada masa itu. Adapun salah
satu tema yang sering ditemukan dalam syair Arab adalah tema ghazal.
Ghazal merupakan salah satu tema syair
Jahiliah yang sangat terkenal. Secara bahasa ghazal memiliki arti menyebut atau membicarakan tentang perempuan yang kemudian di dalam istilah sastra Arab lebih cenderung pada rayuan, cinta, dan asmara. Dalam bukunya yang berjudul al-Mufashshal fi al- Adab al-‘Arabi al-Iskandari dkk. menyatakan selain dalam syair ghazal penyair Jahiliah biasanya hanya menggunakan satu metode dalam menyusun kasidahnya, yaitu selalu diawali dengan tasybib atau menyebutkan perempuan dan segala hal yang berkaitan tentangnya di dalam sebuah kasidah terlebih dahulu. Lalu berdasarkan hal tersebut dalam bukunya dirasat al-Syi’ri al-Jahili Yusuf Khalif mengatakan bahwa perempuan menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi sastra Arab Jahiliah, sehingga dalam budaya tersebut ia ibarat ruh yang menghidupkan sebuah syair. Tasybib berarti pendahuluan puisi cinta.
Salah satu penyair yang menggambarkan citra perempuan dalam syairnya adalah Tsabit ibn Aus al Azadi yang bergelar al-Syanfara. Dalam
bukunya yang berjudul Dirasat al-Syi’ri al-Jahili Yusuf mengatakan syair
al-Syanfara adalah syair ghazal yang paling memukau dalam menggambarkan sosok
perempuan karena dalam syairnya al-Syanfara lebih memilih untuk menggambarkan inner
beauty seorang perempuan seperti syairnya yang satu ini,
ألا أم عمرو أجمعت فاستقلت # وما ودعت جيرانها إذ تولت
Jika Umu Amr telah
berniat maka ia akan pergi Tatkala ia tinggalkan tetangganya saat berpergian
وقد سبقتنا أم عمرو بأمرها # وكانت بأعناق الطي أظلت
Umu Amr meninggalkan
kami dengan segala urusannya pun terhalang di balik punggung unta
بعيني ما أمست فأصبحت # فقضت أمورا فاستقلت فولت
Dengan kedua mataku
(kusaksikan) apa yang telah ia lakukan di sore hari dan malam hari hingga ia
terbangun di pagi hari Lalu ia menyelesaikan semua urusan kemudian ia pergi dan
berlalu
لقد أعجبتني لاسقوط قناعها # إذ ما مشت ولا بذات تلفت
Ia membuatku kagum
tak per- nah terjatuh kain penutup dari kepalanya Saat ia berjalan tidak juga
banyak bertingkah (berlenggak-lenggok)
تبينت
بعيد النوم تهدى غبوقها # لجار تها إذا
لهدية قلت
Bangun tidur, tampak
ia memberikan minuman Untuk tetangganya meski hanya sekadarnya
تحل بمناجاة من اللوم بيتها # إذا ما بيوت بالمذمة حلت
Ia selalu turun
untuk menyelematkan rumah dari kenistaan Jika rumah sedang tertimpa musibah
Bait-bait syair
tersebut menggambarkan seorang perempuan yang sangat ber- pengaruh pagi
kehidupan orang yang hidup di sekitarnya. Ia sebagai salah satu simbol high
quality women yang ada dalam lingkungan bangsa Arab pada saat itu. Ada tiga
citra ideal yang ingin divisualisasikan oleh penyair melalui syair tersebut,
yaitu citra individual, citra marital (hubungan suami istri), dan citra sosial.
Secara individu,
perempuan digambarkan sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatannya. Ini
ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak pernah melepaskan penutup kepalanya dan
juga tidak berlenggak-lenggok saat berjalan syang dpaat memikat kaum laki-laki.
Citra perempuan dalam kehidupan berumah tangga yang tersirat dalam syair
tersebut adalah istri yang peduli terhadap segala urusan rumah tang- ga, baik
urusan yang bersifat fisik maupun mental.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan