Tidak sedikit orang mengatakan jika mimpi adalah awal seseorang
meraih kesuksesan. Aku pun mempercayainya, sebab dengan mimpi setiap orang
memiliki target untuk apa dan seperti apa nanti ke depannya. Dan sejak kecil,
aku selalu bercita-cita ingin menjadi seorang arsitek. Membangun gedung-gedung
tinggi pencakar langit adalah suatu kemungkinan yang harus kubuktikan. Suatu
impian yang harus kuwujudkan serta suatu kebanggaan yang ingin kupersembahkan
untuk ibu dan almarhum bapak.
Bangunlah impian diri sendiri atau orang lain akan
memperkerjakanmu untuk membangun impian mereka! Begitu nasehat bapak yang selalu kuingat.
Namaku Renata. Renata Putri Aditya. Usiaku delapan
belas tahun dan aku seorang tuli. Aku adalah anak semata wayang dari pasangan
Ani dan Tomo. Ibuku merupakan pegawai bank, sedangkan ayahku sudah meninggal
lima tahun yang lalu akibat kecelakaan tunggal di Jalan Solo, Yogyakarta. Kini,
aku hanya tinggal berdua bersama ibuku.
Aku tidak terlahir sebagai tuli. Namun, saat usiaku
menginjak angka 3, aku mengalami demam tinggi dan orang tuaku salah memberi
obat sehingga menyebabkan diriku menjadi tuli seperti saat ini.
“Maafkan Ibu ya, Nak. Malam itu Ibu terlalu panik,”
ujar Ibu setiap kali mengenang masa lima belas tahun yang lalu.
Menjalani hidup sebagai seorang tuli tidaklah mudah
karena harus terbiasa dengan hinaan dan bullying orang-orang sekitar, baik dari tetangga
maupun teman di sekolah. Aku hampir putus asa dan menyerah lantaran keadaan ini
sama sekali tidak membuatku nyaman. Mereka sering mengucilkanku, mengunci
diriku di kamar mandi sekolah, menggembosi ban sepedaku, bahkan sampai merobek
pakaian yang saat itu tengah kukenakan. Aku sangat membencinya. Namun, aku
tidak pernah berani untuk membalas.
Keberadaan ibu selalu memberiku kekuatan. Cinta ibu
menjadi motivasi terbesarku untuk selalu bangkit dari keterpurukan. Hanya di
atas pangkuan ibulah kepala kuletakkan seraya menangis mengingat bagaimana
orang lain memperlakukan diriku dengan sangat hina dan tidak adil.
“Nak, percayalah bahwa tidak ada satu manusia pun yang
hina di mata Tuhan. Jadi, kamu tidak perlu takut, karena Tuhan bisa melakukan
apa saja, bahkan sampai di luar batas kemampuan makhluk-Nya.”
Ibu selalu mendidikku dengan pemahaman bahwa aku tidak
berbeda dengan anak normal lainnya. Aku bisa melakukan apapun bahkan lebih. Aku
pun membuktikannya. Dengan kegigihan dan kesungguhan, aku mampu menempati
peringkat tiga besar setiap kali kenaikan kelas, bahkan pernah juga menjuarai
beberapa kali lomba Sains antarsekolah, baik di tingkat provinsi maupun
nasional.
Lalu, keadaan juga mulai berubah ketika aku bertemu dan
mengenal sosok Aira, sahabatku. Dia adalah gadis berdarah Jawa-Sunda. Usianya
satu tahun lebih tua diatasku. Perawakannya tinggi, putih, dan bersih. Wajahnya
cantik, matanya indah, dan bulu matanya lentik. Rambutnya lurus panjang nan
hitam dan dia terlihat sempurna sebagai wanita karena memiliki kesempurnaan
fisik yang banyak didambakan oleh kebanyakan wanita pada umumnya.
Kesempurnaan itu ternyata tidak ada artinya sama sekali
bagi Aira. Sebab kanker, membuat tubuhnya semakin hari semakin terlihat kurus
dan wajah ayunya semakin hari terlihat memucat seperti tak terurus. Belum lagi
rambut panjangnya yang terus rontok akibat kemoteraphy yang tengah dijalaninya. Aira
mengidap kanker otak stadium lanjut. Menurut dokter, hidupnya tidak akan
bertahan lama dikarenakan sel kanker yang ada di tubuhnya sudah menyebar ke
seluruh bagian tubuh dan sulit untuk disembuhkan. Namun Aira tidak pernah
merasa takut sama sekali, meskipun ia sadar bahwa setiap malam yang dilewati
adalah hitungan mundur menjemput ajal.
Persahabatanku dengan Aira
dimulai sejak kami duduk di bangku kelas dua SMA (Sekolah Menenagah Atas). Saat
itu, dia menjadi murid baru sekaligus primadona di sekolahku. Sejak pertama bertemu,
aku langsung menyukainya karena dirinya tidak pernah melihat dan menganggapku
berbeda. Bahkan, dia selalu melindungi dan menenangkanku dari cacian serta
hinaan teman-teman di sekolah.
“Kamu jangan takut, ada aku di sini,” ujarnya seraya
merangkulku yang saat itu tengah menagis di dalam kelas usai diejek oleh
teman-teman kelas. Aira adalah kebahagiaanku dan hadiah terindah yang pernah
Tuhan berikan.
Menjadi seorang arsitek tetaplah impian terbesar dalam hidupku.
Setelah lulus SMA, aku mulai banyak mendaftar ke universitas yang memang
menyediakan jurusan tersebut. Tetapi aku gagal. Aku gagal diterima menjadi
seorang mahasiswa karena hampir semua kampus yang menyediakan jurusan tersebut
belum membuka akses untuk mahasiswa berkebutuhan khusus sepertiku. Kegagalan
tersebut membuat diriku sangat terpuruk karena harus rela kehilangan mimpi terbesar dalam hidupku.
Tuhan, aku takut kehilangan dirinya, tolong jangan ambil dia
sebelum aku mampu membahagiakannya.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku di
sela-sela air mata yang mulai membanjiri pipiku.
“Bangkit dan jangan pernah menyerah. Jangan pernah takut gagal,”
tegasnya kemudian memelukku dengan sangat erat.
Aira terus menyemangatiku agar bangkit dari
keterpurukan. Siang itu, dia membawakanku sebuah buku tentang kumpulan kisah
inspiratif para tokoh difabel dunia. Ia tahu benar apa yang tengah aku butuhkan.
“Kamu harus banyak membaca buku tentang biografi
orang-orang hebat, Re, karena dari sanalah kamu belajar banyak hal. Tentang
hidup, cinta, perjuangan dan lika-liku dalam meraih impian”.
Aku memang tidak asing dengan tokoh-tokoh difabel
dunia. Sebut saja, Matt Hamill, dia adalah seorang pegulat tuna rungu yang
pernah menjuarai National Collegiate Wrestling Championship dan aku
pernah membaca sedikit tentang kisahnya di sebuah majalah beberapa tahun yang
lalu. Atau Nick Vujicic dari Australia, seorang difabel yang sejak lahir sudah
tidak memiliki tangan dan juga kaki. Ia menderita Tetra-amelia Syndrom yang membuat bagian tubuh
untuk bergeraknya tidak bisa tumbuh. Namun sayang, aku tidak begitu tertarik
untuk menyelami kisah hidupnya dan hanya pernah melihat dirinya tampil di layar
televisi beberapa waktu lalu saat ia memberikan seminar motivasi kepada banyak
orang di seluruh dunia. Dan beberapa tokoh difabel lainnya seperti Anthony
Robles, Tony Malendez, Stevie Wonder, dan Derek Rabelo.
Sejak kegagalanku masuk universitas, aku mulai menata
kembali impianku. Mulai belajar menerima setiap kegagalan demi kegagalan dalam
hidupku dan mulai bertahan dari setiap masalah yang menimpa untuk mewujudkan
mimpi yang bahagia., karena aku percaya, bahwa kebahagiaan bisa dibangun dari
rasa syukur pada setiap kondisi yang ada, baik susah maupun senang.
Lagi-lagi aku hanya bisa menangis di pangkuan ibu. Mengapa aku berbeda, Bu? Seketika Ibu memelukku
erat. Diusapnya punggungku dengan tangan lembut miliknya yang semakin hari
semakin mengeriput.
“Kamu yang terbaik. Jangan takut, di luar sana banyak
hal yang masih bisa kamu lakukan dan akan mengantarkanmu menjadi orang hebat.”
Sekali lagi nasehat Ibu selalu menjadi kekuatan untukku.
Dan hari itu, di saat aku sudah mulai menyerah, mulai
putus asa dengan semua impianku, Aira pun kembali datang sebagai seorang
sahabat yang selalu ada dan menemani. Ia datang bersama buku tebal di
tangannya. Aku tidak berselera saat ia menyodorkan buku tersebut ke arahku.
“Kamu harus baca ini,” ucapnya seraya memaksa tanganku
agar mau menerima buku pemberiannya. Aku menggeleng.
“Re, menyerah bukanlah solusi untuk menyelesaikan
masalah,” ucapnya siang itu.
“Lihat aku, lihat, Meskipun dokter sudah mengatakan
bahwa hidupku hanya tinggal hitungan waktu, tetapi aku tidak pernah menyerah
begitu saja. Kalaupun aku memang tidak bisa sembuh, aku tetap bangga dan
bahagia karena di sisa umurku, aku mampu melakukan banyak hal yang bermanfaat
untuk orang lain,” tambahnya lagi.
Kini, aku mulai banyak membaca biografi tokoh-tokoh inspiratif
dunia, menyelami kisah hidupnya dan perjuangan mereka dalam mewujudkan impian.
Selain itu, aku mulai mencoba banyak hal baru. Dari mengikuti kursus menjahit,
membatik, melukis hingga membuat kue dan aneka makanan lainnya. Namun, dari
sekian kursus serta pelatihan yang kuikuti, aku tetap jatuh hati dengan seni
lukis.
Melukis dan menggambar bukanlah hal baru dalam hidupku
karena saat kecil almarhum bapak sudah mengenalkan dunia itu kepadaku hingga
akhirnya aku bermimpi untuk menjadi seorang arsitek. Sejak kecil, bapak banyak
mengajariku tentang bagaimana menggambar gedung, rumah, tempat ibadah, dan lain
sebagainya dengan baik nan apik.
Aku mulai mendalami bakatku tersebut. Dengan dibimbing
oleh Bung Rusdi, seorang seniman terkenal di Yogyakarta, aku mulai melahirkan
banyak karya. Bahkan, karya-karya yang kuhasilkan cukup banyak diminati orang.
Aku juga banyak mengikuti pameran seni yang diadakan di kota-kota besar di
Indonesia termasuk pameran seni yang diadakan di Jogja National Museum setiap tahunnya. Orang-orang
mulai banyak mengenalku dan mencari tahu tentang diriku, bahkan beberapa kali
aku diminta untuk menjadi narasumber di berbagai acara seminar motivasi kampus,
sebuah tempat yang dulu pernah menolakku dengan hormat.
Tanpa pernah terpikirkan olehku, tiba-tiba aku
mendapatkan beasiswa penuh untuk kembali melanjutkan studiku ke Paris, Perancis
di bidang Seni Kreatif dan Desain. Ibu sangat senang saat pertama kali
mendengar kabar tersebut, terlebih Aira. Dia tak henti-hentinya memelukku
seraya menangis bahagia.
“Kamu hebat Re, aku bangga.”
Perlahan, aku mulai menembus batas impianku. Mewujudkan
satu persatu mimpi serta cita-cita yang telah lama kurangkai dengan indahnya.
Hingga tanpa disadari, aku berhasil menyelesaikan studiku sampai ke jenjang S3
dengan beasiswa penuh serta berhasil mendirikan rumah belajar untuk para
penyandang difabel, terutama bagi mereka yang tuli sepertiku.
Dari sini dan dari kegagalan, aku belajar bahwa
kesuksesan dan kebahagiaan itu memang harus diciptakan dan diniatkan. Salah
satu caranya adalah dengan mengenyahkan perasaan buruk dan mengundang sebanyak
mungkin pemikiran yang baik. Sebab hidup meminta kita untuk belajar
mengapresiasi apa yang kita alami.
Aku beruntung dan bangga menjadi seorang tuli, sebab
dengan tidak bisanya aku mendengar, aku tidak pernah memikirkan kata-kata orang
yang berdampak buruk bagi masa depan dan cita-citaku. Terus melakukan apa yang
bisa aku lakukan dan tidak pernah takut gagal. Oleh sebab itu, aku tidak pernah
mau hanya sekedar menjadi biasa tetapi harus luar biasa sampai pada akhirnya,
aku pun percaya bahwa kebahagiaan yang paling manis adalah ketika kita mampu
menjadikan ketidakmungkinan menjadi mungkin.
Namaku Renata dan aku bangga menjadi diriku sendiri.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan