Oleh: Rikha Ikke Nuriani
Kemunculan istilah-istilah
dalam kepentingan politik merupakan hal biasa yang terjadi menjelang pesta
demokrasi di Indonesia dari periode ke periode. Istilah-istilah tersebut
digunakan oleh para politisi untuk menyerang lawan politik mereka. Dilansir dari
Kompas.com (4/2/2018), Tahun 2018 dianggap sebagai tahun politik. Ini karena
pada 2018, Indonesia menggelar 171 pemilihan kepala daerah (pilda) dan akan
dilanjutkan dengan pemilihan legislatif (pileg) juga pemilihan presiden
(pilpres) yang akan berlangsung pada 17 April 2019. Berbicara tentang pilpres
2019, sejak Oktober lalu, masyarakat Indonesia digemparkan oleh beberapa jargon
politik yang muncul dari dua kubu
kandidat presiden. Jargon-jargon tersebut ada yang dilontarkan sengaja untuk menyindir lawan politik dan ada pula
yang sengaja dipolitisi untuk menghangatkan suasana.
Istilah politisi “sontoloyo”
sempat dilontarkan oleh salah satu calon presiden. Politik sontoloyo merupakan
frasa yang terdiri dari dua kata, politik dan sontoloyo. Kata politik merupakan
unsur yang berfungsi sebagai inti dan sontoloyo sebagai unsur yang berfungsi
pewatas. Sontoloyo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tidak
beres, konyol, dan bodoh. Kataini dipakai sebagai kata makian. Dalam tataran
ini, politik sontoloyo dapat diartikan
politik yang tidak beres. Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa politik sontoloyo yang dimaksud mengarah
kepada banyaknya politisi yang dianggap tidak memegang etika politik, sehingga
banyak fitnah dan hoax yang tersebar dan membuatnya geram.
Disamping istilah politik
sontoloyo, istilah politik ”genderuwo” juga sempat
dilontarkannya.
Genderuwo dalam KBBI memiliki arti hantu yang konon serupa manusia yang tinggi
besar dan berbulu lebat. Frasa politik
genderuwo tidak dapat dimaknai langsung sesuai dengan arti genderuwo dalam KBBI
seperti politik sontoloyo. Hal ini disebabkan genderuwo yang dimaksud dalam
frasa ini bukan genderuwo sebagaimana bentuknya ,akan tetapi genderuwo pada
sifatnya, yaitu menakut-nakuti. Sehingga politik genderuwo yang dimaksud
olehnya adalah politik yang bersifat menakutnakuti. Istilah ini muncul
sebagai sindiran aksi para politikus
yang gemar menyebar propaganda
yang menakutkan dan menimbulkan kekhawatiran.
Selain jargon politik yang
sempat viral dari kubu capres tersebut, calon presiden yang lain juga sempat
melontarkan istilah yang kemudian dipolitisi oleh masyarakat. Sebut saja,
istilah “tampang Boyolali” yang pernah disampaikan dalam pidatonya di acara
peresmian Kantor Badan Pemenangan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah pada
30/10/2018. Dilihat dari hubungan fungsional antara unsur kata inti dan pewatas
dalam frasa, tampang Boyolali memiliki
makna lokatif, yakni menunjuk salah satu kelompok masyarakat. Hal ini kemudian
menuai konflik dari masyarakat Boyolali yang merasa terhina oleh lontaran
istilah tersebut. Jika melihat istilah ini secara terpotong-potong, memang
pengaruh yang ditimbulkan akan fatal.
Akan tetapi, jika dipahami secara keseluruhan, pidato yang disampaikan pihak kedua ini membahas tentang motivasi
peningkatan kesejahteraan desa yang menjadi agenda besar tim suksesnya. Dapat
dipahami juga, ungkapan tersebut merupakan bentuk keprihatinan terhadap negara yang menurutnya bukan lagi
menjadi milik rakyat, di mana rakyat Indonesia yang dimaksud tersebut
disampelkan dengan tampang Boyolali karena bertepatan dengan lokasi acara
tersebut yang bertempat di Boyolali.
Terlepas dari istilah dan jargon yang sempat
dilontarkan oleh kedua kubu kandidat presiden 2019, perlu kita ketahui bahwa
setiap orang memiliki retorika berbeda dalam menyampaikan pendapatnya. Untuk
memahaminya secara utuh dan menyeluruh, kita tidak bisa hanya mengandalkan
struktur yang terdapat dalam ujaran tersebut, tetapi juga harus melihat konteks
ucapan tersebut disampaikan. Hal terpenting yang perlu dipikirkan saat ini,
masyarakat seringkali terprovokasi dengan istilah-istilah yang menjelma
simbolistik, yang visi dan
misinya secara substansi masih perlu dipertanyakan. Politisi yang baik adalah
mereka yang memiliki visi dan misi yang gemilang dan bersaing mewujudkan
Indonesia jaya dengan karya nyata, bukan memperalat bahasa hanya sekadar
berebut pengaruh saja.
“Politisi adalah moralis “pemintal kata-kata”
yang tak mudah kehilangan inspirasi dan selalu membicarakan kebenaran dan masa
depan”
(Plato)
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan