Dalam indikator berbahasa, ada empat komponen di dalamnya yaitu mendengarkan,membaca berbicara dan menulis.Komponen
mendengarkan dan membaca adalah kemampuan reseptif, sedangkan komponen berbicara dan menulis
merupakan kemampuan produktif. Disebut reseptif karena kemampuan tersebut mampu membuat seseorang
menangkap ide atau gagasan yang ia
dapatkan. Adapun kemampuan produktif yaitu seseorang dapat menyampaikan apa yang ia
dapatkan, baik itu berupa lisan
maupun tulisan.
Sejalan dengan itu, sebagaimana fungsi bahasa sebagai
alat komunikasi, ragam bahasa berdasarkan
media penyampaiannya terbagi
menjadi dua yaitu bahasa lisan
dan bahasa tulisan.Bahasa lisan berasal dari alat
ucap yang menghasilkan suara sedangkan bahasa tulisan berasal dari rangkaian
huruf menjadi kata, susunan kata menjadi kalimat dan untaian
kalimat menjadi paragraf hingga membentuk suatu tulisan.Berbicara mengenai bahasa lisan dan
tulisan, seperti yang telah diketahui bahwa bahasa lisan
dilakukan dengan berbicara dan bahasa
tulisan dituangkan dengan cara menulis.keduanya
bertujuan untuk menyampaikan gagasan, pikiran atau ide yang kita miliki. Namun dituangkan
dalam bentuk berbeda.
Pada dasarnya, berbicara dan menulis
sangat jauh berbeda.Namun, keduanya memiliki korelasi yang begitu erat.Namun, kemampuan berbicara dan menulis di Indonesia khususnya di kalangan akademisi tidak begitu seimbang.Kebanyakan dari kita tak
suka menulis dan sepertinya mindset tersebut sudah beterbangan di benak kita sejak dulu,
sehingga kita tak suka dengan
hal-hal yang berbau tulis-menulis.
Jadi, mengapa
orang-orang lebih suka berbicara daripada menulis?Jawaban yang pantas untuk pertanyaan
tersebut adalah menulis tak semudah
berbicara begitupun berbicara tak sesulit
menulis.Kemudian orang Indonesia lebih
dikenal suka ngobrol alias berbicara dan bersosialisasi antara satu sama
lain sehingga orang Indonesia terkenal
dengan keramahannya di berbagai penjuru dunia. Sepertinya berbicara memang suatu sarana yang dianggap paling praktis untuk menyampaikan pesan yang dimaksud kepada orang lain. Semua ini dapat kita buktikan dalam
acara-acara pertelevisian
Indonesia yang mayoritas acaranya
berbentuk talkshow, gosip dan yang serupa dengan itu.
Perbedaan yang paling mencolok
antara kedua aktivitas tersebut dapat dibuktikan dari aktivitas sehari-hari kita.Di masa kecil kita,
pelajaran yang paling pertama
yang diberikan pada anak ialah berbicara.Bagaimana
kita memanggil kedua orang tua, keluarga ataupun teman sebaya kita.Sedangkan
seorang anak kecil baru mengenal
huruf ketika ia duduk di bangku
taman kanak-kanak (TK) atau Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD). Sehingga kebiasaan berbicara
memang lebih diutamakan. Tentu agar komunikasi antara satu sama
lain tetap terjaga, karena bahasa tulisan
terkesan tidak praktis.
Namun sebagai seorang akademisi, kita memang harus dituntut
untuk bisa menulis dan berbicara. Hal ini karena kemampuan menyampaikan pesan tidak melulu dengan
berbicara, terkadang apa yang kita
ucapkan hanya sekedar angin berlalu.
Tapi dengan bahasa tulisan, mengungkapkan maksud kita melalui tulisan
akan dikenang
sepanjang masa. Sebagaimana yang
tertulis dalam buku Rumah Kaca
karya Pramoedya Ananta Toer “Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tak
menulis, ia akan hilang dalam
masyarakat dan dari sejarah”.
Dalam ajaran
agama Islam pun ditekankan bahwa
seorang yang meninggal akan terputus
segala amalannya kecuali tiga hal,
salah satunya ialah ilmu yang bermanfaat. Dengan adanya tulisan, orang-orang akan mengambil
manfaat dari apa yang kita tinggalkan
melalui tulisan kita. Sehingga, tulisan tersebut
tentu bisa menjadi ladang pahala di akhirat kelak.
Penulis pribadi bukan orang yang ahli dalam menulis.Bahkan tulisannya masih di bawah rata-rata, karena sekali lagi, menulis
memang tak mudah.Ibarat bayi yang berlatih berjalan lalu terjatuh.Bangun kemudian jatuh lagi sampai seterusnya.Menulis
membutuhkan kreativitas tersendiri, semangat yang tak boleh kendor
dan tentu dengan aturan tersendiri.Berbeda
dengan berbicara, berbicara semua orang yang tidak memiliki cacat panca indera
wicara bisa berbicara. Memang, beberapa orang tak bisa berbicara di depan umum, akan
tetapi orang-orang bisa berbicara setiap saat dan dimana
saja dan tentu sangatlah berbeda bukan dengan
menulis?.Makanya,
tidak semua orang bisa menulis, meskipun
ia merupakan
seorang pembicara ulung, memiliki keterampilan berbahasa yang fasih maupun retorika
yang bagus.
Halangan, tantangan maupun rintangan tentu selalu menghadang di hadapan orang-orang yang ingin merangkai kata menjadi tulisan. Apakah Konstantinopel
ditaklukkan dan dihancurkan hanya dengan sekali perang
saja?. Apakah
rakyat Indonesia yang mencoba
untuk merdeka hanya melawan penjajah-penjajah
hanya dalam kurun waktu yang begitu singkat?.
Tentu tidak!!!. Baik umat
Islam maupun bangsa
Indonesia pasti melewati
proses yang cukup panjang
demi menggapai cita-cita
yang mereka inginkan. Nah, ini sama
halnya dengan menulis.
Dalam menulis dibutuhkan kebiasaan, dibutuhkan banyak membaca buku maupun
membaca kondisi masyarakat sekitar.Segala sesuatu tentu tidak
ada yang instan, semua butuh pengorbanan
dan perjuangan yang tidak sedikit.Mulailah dahulu sedikit demi sedikit dan sesuatu
yang telah kita mulai, harus kita
tuntaskan sampai akhir.Hal yang terpenting dalam menulis bahkan
dalam segala sesuatu yaitu rajin,
tekun, ulet dan tetap konsisten
dalam menjalaninya.
Peran Mahasiswa Adab
Semua mahasiswa memiliki peran sebagai agent of change(agen
perubahan), social of control (kontrol sosial) dan Iron Stock (generasi penerus bangsa).Mahasiswa jurusan bahasa dan sastra
Arab tentu memiliki ketiga peran tersebut.Namun,
jalan yang ditempuh oleh mahasiswa bahasa dan sastra
Arab tentu memiliki ciri khas tersendiri.
Mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat ke
pemerintah, mereka harus pandai berbicara,
menyampaikan aspirasi-aspirasi
masyarakat.Namun perlu ditekankan lagi bahwa menyampaikan aspirasi bukan hanya dengan berdemonstrasi
ataupun berdiskusi, namun menyampaikan aspirasi melalui tulisan juga merupakan
suatu bentuk penyambung lidah rakyat dan itu
lebih mengena. Ingatkah
kalian seorang pemuda berdarah Tiongkok-Indonesia menyuarakan aspirasi-aspirasinya melalui tulisan?.
Soe Hok Gie,
mahasiswa UI jurusan sastra yang mengkritik rezim orde baru
dengan tulisan-tulisannya. Jadi, mahasiswa dituntut untuk pandai menulis
bukan karena untuk menyelesaikan tugas akhir yaitu,
skripsi semata. Tapi, menulis adalah
cara mahasiswa
membuktikan karya-karyanya
agar bisa dipelajari oleh orang lain tanpa harus menghadirkan orang tersebut serta menulis sebagai sarana untuk menyampaikan
keluh kesah terhadap apa yang kita rasakan.
Bergelut dalam jurusan bahasa, tentu mahasiswanya dituntut agar memiliki semua kemampuan dalam berbahasa yaitu, mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis.Tak ada artinya jika
mahasiswa bahasa tak pandai berbicara
dan menulis ataupun malas membaca
dan mendengarkan.Untuk itu, dalam menjalankan
peran mahasiswa sebagai agen perubahan,
sosial kontrol dan generasi penerus
bangsa, pastilah mahasiswa bahasa pandai mengolah kata dengan baik, memilih
diksi yang tepat dalam menjalankan perannya sebagai mahasiswa.
Ingat!!! Bangsa yang maju
adalah bangsa yang memiliki peradaban.Peradaban bukan hanya mengenai
budaya ataupun tradisi yang maju, tapi juga perkembangan
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang hanya diucapkan akan hilang
seiring berjalannya waktu jika tidak
dituangkan pula melalui tulisan dan bangsa
yang memiliki peradaban dapat kita lihat
dari peninggalan-peninggalan
yang tersisa. Di era milenal saat ini,
perang fisik menjadi hal yang tidak dibutuhkan lagi.Pasalnya, perang yang berkecamuk saat ini adalah perang
pemikiran. Pemikiran
apabila hanya tertanam di dalam pikiran tanpa disalurkan
melalui ucapan ataupun tulisan tentu akan
mati seiring berjalannya waktu.
Imam Al Ghazali juga
pernah berkata “Bila kau bukan
anak raja, juga bukan anak ulama
besar, maka menulislah.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan